Arah Kebijakan Pembangunan dan Implementasinya dalam Pengarusutamaan Pembangunan Berkelanjutan

.

Oleh:
Henri Subagiyo
2


Pengantar
Menurunnya daya dukung dan fungsi lingkungan hidup hingga berujung pada munculnya berbagai bencana lingkungan terus terjadi. bahkan setelah kurang lebih satu dasawarsa jatuhnya rezim pembangunan orde baru yang kerap mendapatkan label eksploitatif, sentralistik, militeris-birokratik yang mengedepankan kepentingan Negara dalam arti segelitir golongan dengan minimnya ruang partisipasi daripada kepentingan rakyatnya.
Kerusakan hutan pada saat ini telah mencapai kondisi memprihatinkan. Departemen Kehutanan RI menyatakan laju kerusakan hutan antara tahun 1998-2000 telah mencapai angka 3,8 juta Ha/tahun. Sedangkan Forest Watch Indonesia (FWI) memperkirakan laju kerusakan hutan antara tahun 2001-2003 telah mencapai angka 4,1 juta Ha/tahun.3 Jika dihitung dalam angka 2 juta Ha/tahun saja, berarti tiap menitnya kerusakan hutan telah mencapai 3 hektar atau sama dengan 6 kali luas lapangan bola.4 Berdasarkan hasil riset Oseanologi LIPI, kekayaan hayati laut kita pada tahun 2005 tercatat tinggal 5,83% yang masuk kategori sangat baik, 25% baik, 26,59% sedang dan 31% lainnya mengalami kerusakan. Sedangkan disektor pertambangan dimana Indonesia selama ini dikenal memiliki sumber daya mineral yang cukup berlimpah, cadangan mineral yang ada pada saat ini tercatat hanya bertahan untuk 18 tahun ke depan.5 Di sektor udara, hasil pengukuran kualitas udara di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung, Jambi, dan Pekanbaru, udara dalam kategori baik selama satu tahun hanya sekitar 22-62 hari atau 17 % saja. Kadar pencemar udara di kota-kota tersebut 37 kali lipat di atas standar yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Implikasinya, sebagai contoh kualitas udara di Jakarta masyarakat dapat menghirup udara dengan kategori baik rata-rata hanya 22 hari dalam 1 tahun.6 Luas lahan kritis terus meningkat yang pada tahun 2000 mencapai 23,2 juta hektar.7
Selain potret sederhana tentang semakin menurunnya daya dukung dan fungsi lingkungan hidup di atas, terdapat pula potret tentang tragedi lingkungan hidup. Pada tahun 1997-1998 tercatat kebakaran hutan dan lahan besar-besaran hingga berimbas sampai ke negara sekitar. Sejak saat itu, kebakaran hutan dan lahan terus berulang setiap tahunnya sampai saat ini. Pada tahun 2000, dunia pertambangan kita dikejutkan dengan longsornya overburden penambangan PT. Freeport Indonesia di Danau Wanagon, Irian Jaya (Papua) yang menyebabkan meluapnya material (sludge, overburden, dan air) ke Sungai Wanagon dan Desa Banti yang letaknya berada di bawah danau. Tahun 2001 terjadi ledakan tangki PT. Petrokomia Gresik yang mengakibatkan terganggunya kesehatan warga sekitar. Berlanjut ke tahun 2002, Jakarta dikejutkan dengan banjir yang hampir melumpuhkan seluruh aktivitas masyarakatnya serta terulang lagi dengan wilayah terdampak yang lebih besar di tahun 2007. Pada tahun 2003 publik dikejutkan dengan kejadian longsor di Mandalawangi-Jawa Barat. Pada tahun 2004-2005 muncul permasalahan kebijakan pertambangan di hutan lindung dan kasus pencemaran Teluk Buyat. Pada tahun 2006 sederatan bencana lingkungan seperti banjir dan longsor terjadi di sejumlah daerah seperti Jember dan Banjarnegara. Masih di tahun yang sama, sektor industri juga menambah panjang permasalahan lingkungan kita, seperti kasus semburan Lumpur Lapindo Sidoarjo maupun illegal dumping limbah B3 di Cikarang-Bekasi. Semua tragedi bencana tersebut, menelan tak hanya kerugian materi tapi juga nyawa manusia.8
B. Permasalahan dan Batasannya
Dari berbagai potret sederhana tentang degradasi dan bencana lingkungan diatas, muncul pertanyaan bagaimana arah kebijakan pembangunan nasional terkait dengan upaya perubahan pada kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup? Apakah upaya untuk pengarusutamaan prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development) telah terinternalisasi dalam pembangunan nasional? Pertanyaan di atas menjadi fokus kajian dalam tulisan ini dengan menekankan pada kajian hukum yang terkait dengan kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
C. Analisa
C.1. Prasyarat Pembangunan Berkelanjutan
Paradigma pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang eksploitatif dengan mengedepankan pertumbuhan ekonomi cepat (rapid growth economic) semakin menyebabkan penegasian terhadap elemen pembangunan lainnya seperti halnya lingkungan hidup. Implikasinya, kondisi lingkungan hidup pada saat ini telah bergeser dari elemen penopang pembangunan menjadi salah satu ancaman bagi hasil pembangunan itu sendiri baik terhadap generasi saat ini maupun yang akan datang.
Deklarasi Rio 1992 yang dilahirkan dalam KTT Bumi (earth summit) menjadi tonggak keprihatinan dunia dalam menghadapi krisis pembangunan dan lingkungan. Konsep pembangunan berkelanjutan kemudian menjadi diskursus panjang berbagai kalangan masyarakat internasional. Indonesia-pun mengambil peran yang cukup signifikan dalam agenda tersebut di bawah delegasi yang dipimpin oleh Prof. Emil Salim. Kemudian di tahun 2002 diselenggarakan WSSD (World Summit on Sustainable Development) di Johannesburg yang menegaskan strategi implementasi dari pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan menghendaki adanya pendistribusian hak-hak atas sumber daya alam dan lingkungan hidup secara adil baik bagi generasi saat ini maupun masa datang. Konsep pembangunan berkelanjutan menghendaki jalannya pembangunan yang mengintegrasikan kepentingan ekonomi, sosial, dan perlindungan daya dukung lingkungan hidup secara seimbang dan berkeadilan. Dengan demikian diperlukan perubahan paradigma pembangunan menuju pembangunan yang berkelanjutan, berbasis rakyat, dan berkeadilan.
Dalam berbagai diskursus, prasyarat untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan adalah adanya tata pemerintahan yang baik dengan mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan dan sumber daya alam (Good Sustainable Development Governance-GSDG). Perwujudan GSDG menuntut 9 kondisi dalam tata pemerintahan, yaitu:9 1) Adanya lembaga peradilan yang mandiri, profesional dan berintegritas, 2) Adanya lembaga perwakilan rakyat yang responsif dan menjalankan pengawasan secara efektif, 3) Adanya lembaga pemerintah yang transparan, partisipatif, dan bertanggungjawab, 4) Adanya desentralisasi yang demokratis dan lembaga perwakilan daerah yang efektif, 5) Adanya masyarakat sipil yang kuat, 6) Adanya mekanisme pencegahan, penanganan, dan pemulihan konflik, 7) Adanya pemberantasan kemiskinan melalui keterbukaan bagi akses masyarakat terhadap public resources secara berkeadilan, 8) Adanya perubahan pola konsumsi dan produksi yang ramah lingkungan, dan 9) Adanya kebijakan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam yang berwawasan lingkungan dan berbasis pada keadilan rakyat. Jadi arah dan implementasi kebijakan dalam pengarusutamaan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan harus selaras dengan kesembilan prasyarat terwujudnya GSDG di atas.
C.2. Arah Kebijakan Pengelolaan SDA dan LH
Amandemen UUD 1945 di era reformasi telah mengamanatkan setidaknya dua perspektif penting dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Pertama, munculnya pengakuan terhadap keberlanjutan dan wawasan lingkungan dalam penyelenggaraan perekonomian nasional.10 Kedua, munculnya pengakuan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai hak asasi manusia sekaligus hak konstitusi dari warga negara.11 Sebagai implikasinya, maka negara khususnya pemerintah berkewajiban untuk menghormati (to respect), memenuhi (to fulfill) dan melindungi (to protect) atas hak lingkungan sebagai HAM. Dua prespektif inilah yang mempertegas bahwa pemerintah mempunyai tanggungjawab secara konstitusional untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan sebagai bagian dari perwujudan HAM. Hal ini dipertegas pula dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Kemudian yang perlu kita kaji dalam implementasi pembangunan berkelanjutan adalah keluarnya TAP MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Kajian terhadap produk hukum ini perlu diangkat mengingat secara historis keluarnya TAP MPR No. IX/MPR/2001 mempunyai alasan hukum yang cukup relevan dengan berbagai permasalahan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup di Indonesia. Secara garis besar beberapa permasalahan penting yang mendasari keluarnya TAP MPR No. IX/MPR/2001 adalah:
Lemahnya arah dan dasar pembangunan nasional dalam merespon persoalan kemiskinan, ketimpangan dan ketidakadilan sosial-ekonomi rakyat serta kerusakan sumber daya alam;
Pengelolaan sumber daya agraria dan sumber daya alam selama ini telah menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatannya serta menimbulkan berbagai konflik;
Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya agraria dan sumber daya alam saling tumpang tindih dan bertentangan;
Lemahnya koordinasi, keterpaduan, aspirasi, peranserta, dan penyelesaian konflik dalam pengelolaan sumber daya agraria dan sumber daya alam; dan
Lemahnya komitmen politik yang sungguh-sungguh untuk memberikan dasar dan arah bagi pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang adil, berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Dari refleksi kondisi tersebut maka ditetapkanlah prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya agraria dan sumber daya alam sebagai berikut:
Memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
Menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
Menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi keanekaragaman dalam unifikasi hukum;
Mensejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumberdaya manusia Indonesia;
Mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi dan optimalisasi partisipasi rakyat;
Mewujudkan keadilan dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan, dan pemeliharaan sumberdaya agraria dan sumberdaya alam;
Memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang optimal, baik untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang, dengan tetap memperhatikan daya tampung dan dukung lingkungan;
Melaksanakan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat;
Meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antarsektor pembangunan dalam pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam;
Mengakui dan menghormati hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumberdaya agraria dan sumberdaya alam;
Mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara, pemerintah (pusat, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat), masyarakat dan individu;
Melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan di tingkat nasional, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat, berkaitan dengan alokasi dan manajemen sumberdaya agraria dan sumberdaya alam.
Sedangkan secara ringkas, arah kebijakan pegelolaan sumber daya alam ditetapkan untuk:
Mendorong adanya pengakuan dan pertimbangan daya dukung serta daya tampung lingkungan dalam pembangunan dengan memperhatikan sifat dan karakteristik SDA. Implikasinya diperlukan adanya identifikasi dan inventarisasi kualitas dan kuantitas SDA;
Mendorong pemberian akses informasi bagi masyarakat sehingga diharapkan dapat menimbulkan tanggungjawab sosial sebagai bentuk partisipasi dalam pengelolan SDA.
Mendorong adanya resolusi konflik yang efektif dan berkeadilan dalam pengelolaan SDA sehingga dapat mendorong upaya-upaya penegakan hukum;
Mendorong adanya strategi pengelolaan SDA secara optimal dengan memperhatikan kepentingan nasional dan daerah dalam konteks desentralisasi; dan
Mengkaji ulang berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan SDA dalam rangka sinkronisasi kebijakan antar sektor berdasarkan prinsip-prinsip pengelolaan SDA.
Beberapa permasalahan mendasar dari implementasi arah kebijakan pengelolaan sumber daya alam sebagaimana dicantumkan pada TAP MPR No. IX/MPR/2001, antara lain:
Pada ketetapan tersebut tidak jelas siapa yang harus bertanggungjawab dalam menjalankan arah kebijakan tersebut. Secara formal TAP MPR No. IX/MPR/2001 tidak menegaskan pihak yang harus mengimplementasikannya. Namun secara substansi dapat dijelaskan bahwa arah kebijakan tersebut harus diterjemahkan dalam konteks legislasi nasional terkait dengan pengelolaan SDA. Permasalahannya kemudian dalam tata urutan peraturan perundang-undang saat ini tidak lagi dikenal TAP MPR sebagai salah satu perturan perundang-undangan yang menerjemahkan amanat kontitusi (UUD 1945) meskipun UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan juga tidak mencabut keberadaan TAP MPR.
Dalam hierarki peraturan perundang-undangan dikenal adanya asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Sebagai implikasi tidak masuknya TAP MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan, maka penegakan terhadap implemntasi dari produk ini menjadi sulit untuk dilaksanakan.
Secara substansi, arah kebijakan pengelolaan SDA dalam TAP MPR No. IX/MPR/2001 masih membutuhkan penerjemahan lebih lanjut secara terukur. Dengan adanya permasalahan sekaligus kelemahan ketetapan ini, maka hingga saat ini belum terdapat perturan pelaksana yang secara tegas bertujuan untuk menerjemahkannya dalam tataran praktis.
Arah kebijakan pembangunan di era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diterjemahkan pada Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009. Perlu dicatat bahwa secara formal TAP MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam tidak menjadi salah satu pertimbangan hukum dalam mengeluarkan Perpres ini.
Secara garis besar, Perpres 7/2005 memandang bahwa permasalahan mendasar dalam pengelolaan SDA, adalah:
Tidak selarasnya perlindungan fungsi lingkungan hidup dengan kegiatan pemanfaatan sumber daya alam sehingga sering melahirkan konflik kepentingan antara ekonomi sumber daya alam (pertambangan, kehutanan) dengan lingkungan.
Kebijakan ekonomi selama ini cenderung lebih berpihak terhadap kegiatan eksploitasi sumber daya alam sehingga mengakibatkan lemahnya kelembagaan pengelolaan dan penegakan hukum;
Semakin menurunya kualitas lingkungan hidup; dan
Belum terbangunnya sistem pembangunan, pemerintahan, dan pembangunan yang berkelanjutan.
Berdasarkan permasalahan tersebut, maka visi pembangunan nasional tahun 2004–2009 ditetapkan sebagai berikut:
Terwujudnya kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara yang aman, bersatu, rukun dan damai;
Terwujudnya masyarakat, bangsa, dan negara yang menjunjung tinggi hukum, kesetaraan, dan hak asasi manusia; serta
Terwujudnya perekonomian yang mampu menyediakan kesempatan kerja dan penghidupan yang layak serta memberikan pondasi yang kokoh bagi pembangunan yang berkelanjutan.
Kemudian dari visi tersebut diterjemahkan menjadi misi pembangunan, yaitu: terwujudnya rasa aman dan damai, adil dan demokratis, serta sejahtera. Adapun strategi yang dijalankan melalui pengembangan sistem sosial yang tangguh serta pemenuhan hak-hak dasar rakyat. Namun hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat belum diakui sebagai bagian dari hak dasar rakyat.
Dari visi dan misi pembangunan nasional kemudian diterjemahkan lebih lanjut menjadi agenda, sasaran dan prioritas pembangunan. Dalam agenda meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sasaran pembangunan diarahkan pada perbaikan mutu lingkungan hidup dan pengelolaan sumber daya alam yang mengarah pada pengarusutamaan (mainstreaming) prinsip pembangunan berkelanjutan di seluruh sektor dan bidang pembangunan.12
Untuk mencapai sasaran di atas, arah kebijakan yang akan ditempuh meliputi perbaikan manajemen dan sistem pengelolaan sumber daya alam, optimalisasi manfaat ekonomi dari sumber daya alam termasuk jasa lingkungannya, pengembangan peraturan perundangan lingkungan, penegakan hukum, rehabilitasi dan pemulihan cadangan sumber daya alam, dan pengendalian pencemaran lingkungan hidup dengan memperhatikan kesetaraan gender. Melalui arah kebijakan ini diharapkan sumber daya alam dapat tetap mendukung perekonomian nasional dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa mengorbankan daya dukung dan fungsi lingkungan hidupnya, agar kelak tetap dapat dinikmati oleh generasi mendatang.13
Dalam mendorong pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan diperlukan strategi pembangunan secara bersama-sama, terarah, dan komprehensif. Jaminan dan pengaturan tentang pengelolaan SDA dan LH saat ini yang diwadahi dalam level hukum yang lebih rendah dari UU yaitu setingkat Peraturan Presiden memiliki kelemahan mendasar. Secara substansi, pendekatan melalui Peraturan Presiden tidak memiliki keterjangkauan yang luas mencakup perubahan seluruh elemen ketatanegaraan. Sedangkan sembilan prasyarat terwujudnya GSDG menghendaki perubahan dari seluruh stakeholders negara termasuk lembaga negara yang ada (eksekutif, legislatif, dan judikatif) dan masyarakat.
C.3. Keberhasilan Implementasi Arah Kebijakan Pengelolaan SDA dan LH dalam Mendorong Pengarusutamaan Pembangunan Berkelanjutan
Untuk melihat keberhasilan implementasi arah kebijakan perbaikan pengelolaan SDA dan LH dalam mendorong pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan dapat dikaji dalam dua indikator, yaitu:
Kondisi lingkungan hidup pada saat ini.
Dalam kondisi ideal seharusnya arah kebijakan perbaikan pengelolaan SDA dan LH dalam mendorong pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan adalah membaiknya kondisi lingkungan hidup. Namun fakta menunjukkan bahwa tidak terdapat perubahan mendasar terhadap kondisi lingkungan hidup. Hanya dalam kurun waktu satu tahun (2006-2007) saja sudah terlihat sederet bencana lingkungan sebagaimana dalam Tabel tentang Fragmen Bencana tahun 2006-2007 berikut ini:
Waktu Kejadian
Bencana
Penyebab
Januari 2006
Banjir di Jember (Jatim). Korban 308 orang tewas.
Ekstraksi hutan di Jawa Timur
Maret 2006
Banjir di Manado dan Maros (Sulut). 20 orang tewas dan 24000 mengungsi.
Banjir di Pati Jateng menelan 3 orang tewas
Gundulnya hutan
Idem
Juli 2006
Semburan lumpur di Sumur Banjar Panji I. Hampir 8 desa seluas 470 Ha terbenam lumpur. Lebih dari 25 pabrik tenggelam, dan 14.000 orang terpaksa kehilangan tempat tinggal.
Pencemaran minyak di Taman Nasional Kepulauan Seribu terulang kembali
Kecerobohan dalam pengeboran
Tumpahan jaringan pipa minyak atau kapal tanker
Agustus 2006
Kebakaran hutan di beberapa daerah Sumatera (Riau, Jambi, Sumatera Selatan) dan Kalimantan (Kalbar, Kalsel, Kaltim) terulang kembali. Tercatat 40.000 hotspot. Sekitar 3.2000 warga Pekanbaru, Riau menderita Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) dengan penderita terbesar dari kelompok balita. Jumlah pasien yang mendapatkan perawatan sebanyak 700-800 orang/minggu.
Musim kering dan pelebaran kebun sawit dengan metode slash burn. Ada 178 perusahaan yang terindikasi membakar hutan pada Agustus 2006 (70 perusahaan di Kalimantan dan 108 di Sumatera).
September 2006
Kekeringan yang parah di beberapa daerah Cirebon, Subang, Bandung, Cilacap, Pamalang, Riau, Jambi, Sumsel, Kalbar, Kalteng, Kalsel, Bojonegoro, Probolinggo.
Rawan pangan di NTT
Musim berganti lebih cepat dan semakin berkurangnya hutan-hutan sebagai area tangkapan dan penyimpanan air. Termasuk perubahan areal persawahan ke industri
Oktober 2006
Kekeringan di Bantul (DIY) dan Palembang (Sumsel). Masyarakat terpaksa mengandalkan air rawa yang keruh.
Rusaknya DAS dan Dam.
November 2006
Kekeringan di Kebumen (Jateng), Ende (NTT) semkin meluas. Sejumlah sumur di Riau mengalami penyurutan permukaan
Idem
Desember 2006
Air sejumlah waduk di Jateng mengering.
Banjir Bandung Selatan
Rob di Semarang
Banjir bandang dan tanah longsor di Kabupaten Mandiling Natal (Sumut). 33 orang tewas.
Tanah longsor di Kab. Solok (Sumbar). 18 orang tewas
Idem
Idem
Turunnya permukaan tanah dan reklamasi pantai
Penggundulan hutan
Idem
Januari 2007
Banjir dan longsor di Kep. Sangihe, Sulut. 32 orang tewas
Longsor di Padang Pariaman (Sumbar). 13 orang tewas
Penggundulan hutan
Februari 2007
Banjir Jakarta. 70% wilayah Jakarta terendam kurang lebih 1 minggu. 11 dari 12 kecamatan di Bekasi tergenang air. Korban tewas mencapai 66 orang. Kerugian versi Bapenas mencapai Rp. 8 Triliun (Tempo;12/2/07). Versi Greenomics Indonesia mencapai Rp. 7,3 Triliun. Versi Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) Rp. 95 Miliar/hari. Jumlah tersebut belum termasuk terancamnya akses masyarakat terhadap kesehatan, perumahan, kenyamanan, dan pekerjaan(Kompas;30/01/07).
Ekstraksi lahan menjadi sektor industri dan perekonomian. Minimnya daerah resapan. Rusaknya daerah hulu.
Sumber: Kaleideskop Lingkungan 2006, Walhi, April-Mei 2007 dengan beberapa kompilasi bahan oleh penulis.
Kebijakan hukum dalam mendorong Good Sustainable Development Governance
Dalam mendorong terwujudnya GSDG diperlukan dua prasyarat pokok yang kemudian diterjemahkan ke dalam sembilan elemen kondisi dalam tata pemerintahan. Pertama, perwujudan tata pemerintahan yang baik (good governance). Tata pemerintahan yang baik memerlukan implementasi prinsip-prinsip penting dalam pemerintahan, antara lain: 1) Transparansi; 2) Partisipasi; dan 3) Akuntabilitas.14 Kedua, terwujudnya tata pemerintahan yang mendorong implementasi pembangunan berkelanjutan (sustainable development governance).Berbagai kebijakan yang mendorong kedua prasyarat pokok tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut:
No
Prasyarat
Kebijakan
Catatan
1.
Good Governance
1.1.
Kebijakan yang mendorong lembaga peradilan (judiciary) yang independen, profesional dan berintegritas.
UU 20/2001 ttg Perubahan UU 31/ 1999 ttg Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
UU 30/2002 ttg Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
UU 4/2004 ttg Kekuasaan Kehakiman;
UU 5/2004 ttg Mahkamah Agung;
UU 16/2004 ttg Kejaksaan RI;
UU 24/2003 ttg Mahkamah Konstitusi;
UU 2/2002 ttg Kepolisian RI
UU 22/2004 ttg Komisi Yudisial
UU 9/2004 ttg Perubahan UU 5/1986 ttg PTUN
PerMA No. 1/2002 ttg Acara Gugatan Perwakilan Kelompok;
PerMA 2/2003 ttg Prosedur Mediasi di Pengadilan
Blue Print Pembaruan MA
Keputusan Ketua MA-RI No:KMA/104 A/SK/XII/2006 ttg Pedoman Perilaku Hakim;
RUU Kebebasan Informasi Publik;
RUU Pelayanan Publik;
Dimasukkannya Kepolisian dan Kejaksaaan dalam aspek ini karena dalam sistem penegakan hukum kedua unsur tersebut memiliki peran penting untuk mempengaruhi keberadaan pengadilan yang independen, profesional, danm berintegritas.
1.2.
Kebijakan yang mendorong lembaga perwakilan rakyat yang responsif dan menjalankan pengawasan secara efektif, (legislative)
UU 22/2003 ttg Susduk MPR, DPR, DPD, dan DPRD
UU 10/2004 ttg Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;
UU 20/2001 ttg Perubahan UU 31/ 1999 ttg Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
UU 30/2002 ttg Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
RUU Kebebasan Informasi Publik;
RUU Pelayanan Publik;
RUU Administratif Pemerintahan
1.3.
Kebijakan yang mendorong lembaga pemerintah yang transparan, partisipatif, dan bertanggungjawab. (executive)
UU 10/2004 ttg Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;
UU 20/2001 ttg Perubahan UU 31/ 1999 ttg Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
UU 30/2002 ttg Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
Keppres 44/2000 ttg Komisi Ombudsmen Nasional;
RUU Kebebasan Informasi Publik;
RUU Pelayanan Publik;
RUU Administratif Pemerintahan
RUU Kementerian Negara
1.4.
Kebijakan yang mendorong desentralisasi yang demokratis dan lembaga perwakilan daerah yang efektif, (otonomi daerah)
UU No. 32/3004 ttg Pemerintahan Daerah
Perda Transparansi dan Informasi di beberapa daerah. (Kalbar, Gorontalo, Palu, Solok, Kendari, Bandung, Kebumen, Lebak, dsb)
Perda Pelayanan Publik (Surabaya, Jatim)
1.5.
Kebijakan yang mendorong penguatan masyarakat sipil (civil society)
UU 10/2004 ttg Pembentukan Peraturan Per-UU-an;
UU 13/2006 ttg Perlindungan Saksi dan Korban ;
PERDA transparansi dan Informasi
RUU Kebebasan Memperoleh Informasi
RUU Komisi Ombudsman Nasional
RUU Pelayanan Publik;
RUU Administrasi Pemerintahan
RUU Pengakuan Masyarakat Adat
1.6.
Kebijakan yang mendorong pencegahan, penanganan, dan pemulihan konflik (Resolusi Konflik)
UU 30/1999 ttg Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa;
UU 10/2004 ttg Pembentukan Peraturan Per-UU-an;
UU 27/2004 ttg Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
PerMA 1/1999 ttg Hak Uji Materil
PerMA No. 1/2002 ttg Acara Gugatan Perwakilan Kelompok;
PerMA 2/2003 ttg Prosedur Mediasi di Pengadilan
RUU Kebebasan Memperoleh Informasi
RUU Komisi Ombudsman Nasional
RUU Pelayanan Publik;
RUU Administrasi Pemerintahan
RUU Pengakuan Masyarakat Adat
RUU Penyelesaian konflik SDA (RUU Pengelolaan Sumber Daya Alam)
2.
Sustainable Development Governance
2.1.
Kebijakan yang mendorong terbukanya akses terhadap public resources dalam rangka pemberantasan kemiskinan
UU 23/1992 ttg Kesehatan (Perlu Revisi)
UU 20/2003 ttg Sisdiknas
UU 7/2004 ttg Sumber Daya Air (Perlu Review)
UU 41/1999 ttg Kehutanan (Perlu Revisi)
UU 11/1967 ttg Pertambangan Umum (Perlu Revisi)
UU 22/2001 ttg Migas (Perlu Review)
UU 19/2004 ttg Tambnag Hutan Lindung (Perlu Review)
UU 26/2007 ttg Penataan Ruang (Perlu Review)
UU 7/1996 ttg Pangan (Perlu Revisi)
UU 28/2004 ttg Yayasan (Perlu Review)
RUU Pengelolaaan Sumber Daya Alam (RUU PSDA)
RUU Pembaruan Agraria
RUU Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
RUU Pengakuan Masyarakat Adat
RUU Perlindungan Pengetahuan Tradisional
2.2
Kebijakan yang mendorong perubahan pola konsumsi dan produksi yang ramah lingkungan
UU 5/1984 ttg Perindustrian (Perlu Revisi)
UU 23/1997 ttg Pengelolaan Lingkungan Hidup (Perlu Revisi)
UU 8/1999 ttg Perlindungan Konsumen
UU 19/2004 ttg Tambang di Hutan Lindung (Perlu Review)
UU 17/2004 ttg Pengesahan Protokol Kyoto (Climate Change)
UU 21/2004 ttg Pengesahan Protokol Cartagena (Biosafety)
RUU Pengelolaaan Sumber Daya Alam (RUU PSDA)
RUU ttg Sampah
2.3
Kebijakan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam yang berwawasan lingkungan dan berbasis pada keadilan rakyat
UU 5/1984 ttg Perindustrian (Perlu Revisi)
UU 23/1997 ttg Pengelolaan Lingkungan Hidup (Perlu Revisi)
UU 19/2004 ttg Tambang di Hutan Lindung (Perlu Review)
UU 7/2004 ttg Sumber Daya Air (Perlu Review)
UU 41/1999 ttg Kehutanan (Perlu Revisi)
UU 11/1967 ttg Pertambangan Umum (Perlu Revisi)
UU 22/2001 ttg Migas (Perlu Review)
UU 26/2007 ttg Penataan Ruang (Perlu Review)
UU 7/1996 ttg Pangan (Perlu Revisi)
UU 17/2004 ttg Pengesahan Protokol Kyoto (Climate Change)
UU 21/2004 ttg Pengesahan Protokol Cartagena (Biosafety)
RUU Pengelolaaan Sumber Daya Alam (RUU PSDA)
RUU Pembaruan Agraria
RUU Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
RUU Pengakuan Masyarakat Adat
RUU Perlindungan Pengetahuan Tradisional
RUU Sumber Daya Genetik
RUU Biosafety
RUU ttg Sampah
RUU Kebebasan Memperoleh Informasi
RUU Komisi Ombudsman Nasional
RUU Pelayanan Publik;
RUU Administrasi Pemerintahan (terkait dengan partisipasi dan transparansi kebijakan LH)
Sumber: Kompilasi Penulis dari Berbagai Bahan Hukum
Keterangan:
Huruf tebal menunjukkan bahwa kebijakan/UU tersebut belum keluar
Perlu Review: ada permasalahan secara substansi terkait dengan pemenuhan prasyarat/prinsip-prinsip dalam mendorong GSDG (UU diatas tahun 2000 namun secara substansi bermasalah)
Perlu Revisi: ada permasalahan secara substansi untuk disesuaikan dengan perkembangan/perubahan yang terjadi (UU dibawah tahun 2000)
Terkait dengan berbagai kebijakan tersebut, beberapa persoalan yang dapat dikemukakan adalah:
Upaya untuk mendorong good governance melalui paket kebijakan peraturan perundang-undangan telah banyak diterbitkan dengan pendekatan pengawasan antar lembaga negara. Namun hal ini belum dikombinasikan dengan upaya penguatan kontrol publik melalui paket kebijakan peraturan perundang-undangan yang mendorong penguatan akses terhadap informasi dan partisipasi yang hakiki bagi masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari masih berlarutnya proses pengundangan RUU Kebebasan Informasi Publik, RUU Komisi Ombudsman, RUU Pelayanan Publik, dan RUU Administrasi Pemerintahan yang sangat penting dalam memberikan akses informasi dan partisipasi bagi masyarakat disamping agenda reformasi birokrasi secara menyeluruh.
Upaya untuk mendorong sustainable development governance melalui paket kebijakan peraturan perundang-undangan terlihat lebih memprihatinkan. Secara umum ada 3 persoalan utama: Pertama, beberapa kebijakan peraturan perundang-undangan masih perlu dilakukan penyesuaian dengan kondisi dan perubahan tata pemerintahan dan kenegaraan yang berkembang untuk menjawab perkembangan kebutuhan riil di dalam masyarakat. Terhadap berbagai peraturan perundang-undangan ini perlu dilakukan revisi. Kedua, beberapa kebijakan peraturan perundang-undangan yang lahir perlu untuk dikaji ulang (review) karena secara substansi mengandung berbagai persoalan sehingga perlu disesuaikan dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Misalnya: terhadap kebijakan penambangan terbuka di kawasan hutan lindung melalui UU 19/2004 yang mengancam perlindungan lingkungan khususnya kawasan hutan lindung dan konservasi sumber daya alam. Privatisasi sumber daya air melalui UU 7/2004 yang bertentangan dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dan keadilan masyarakat melalui masuknya sektor privat ke pengelolaan sumber daya air. Ketiga, beberapa kebijakan peraturan perundang-undangan belum dikelurkan untuk secara optimal melakukan perubahan arah pembangunan nasional yang selama ini eksploitatif dengan mengabaikan keberlanjutan SDA dan LH menuju pembangunan berkelanjutan. Misalnya RUU Pengelolaan Sumber Daya Alam (RUU PSDA) yang diharapkan untuk melakukan sinkronisasi peraturan perundang-undangan di bidang SDA dan LH sekaligus untuk menyelesaikan persoalan-persoalan seperti penguatan masyarakat sipil dan resolusi konflik SDA dan LH hingga saat ini tidak menunjukkan perkembangan yang menggembirakan dalam proses pembahasannya. Keberadaan RUU PSDA justru terancam dengan gagasan-gagasan munculnya kebijakan UU sektoral lainnya seperti inisiatif pemerintah untuk mendorong RUU Mineral dan Batu Bara (RUU Minerba) dan Revisi UU 41/1999 ttg Kehutanan sebelum dituntaskannya pembahasan RUU PSDA.
D. Kesimpulan
Laju degradasi sumber daya alam dan lingkungan hidup semaakin memprihatinkan ditengah-tengah wacana perubahan kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan yang berkelanjutan dalam pembangunan nasional.
Untuk mendorong pengarusutamaan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan diperlukan prasyarat terwujudnya Good Sustainable Development Governance yang dijabarkan dalam sembilan kondisi, yaitu: 1) Adanya lembaga peradilan yang mandiri, profesional dan berintegritas, 2) Adanya lembaga perwakilan rakyat yang responsif dan menjalankan pengawasan secara efektif, 3) Adanya lembaga pemerintah yang transparan, partisipatif, dan bertanggungjawab, 4) Adanya desentralisasi yang demokratis dan lembaga perwakilan daerah yang efektif, 5) Adanya masyarakat sipil yang kuat, 6) Adanya mekanisme pencegahan, penanganan, dan pemulihan konflik, 7) Adanya pemberantasan kemiskinan melalui keterbukaan bagi akses masyarakat terhadap public resources secara berkeadilan, 8) Adanya perubahan pola konsumsi dan produksi yang ramah lingkungan, dan 9) Adanya kebijakan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam yang berwawasan lingkungan dan berbasis pada keadilan rakyat.
Arah kebijakan pengelolaan SDA dan LH yang diatur dalam TAP MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam tidak menjadi salah satu pertimbangan hukum dalam mengeluarkan Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009 di era Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono.
Persoalan mendasar dari kebijakan pengarusutamaan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan bahwa agenda pembangunan nasional yang diterjemahkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009 di era Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono hanya diatur pada level peraturan perundang-undangan yang cukup rumit untuk diharapkan menjangkau perubahan yang mendasar dari seluruh elemen ketatanegaraan. Sedangkan sembilan prasyarat terwujudnya GSDG menghendaki perubahan dari seluruh stakeholders negara termasuk lembaga negara yang ada (eksekutif, legislatif, dan judikatif) dan masyarakat.
Arah kebijakan untuk mendorong pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan melalui perwujudan GSDG menunjukkan gambaran yang kurang menggembirakan, antara lain: masih lemahnya kebijakan peraturan perundang-undangan dalam pengauatan kontrol masyarakat untuk mewujudkan good governance, masih lemahnya substansi kebijakan peraturan perundang-undangan yang dilahirkan sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, keadilan, dan kepentingan kerakyatan sehingga perlu dikaji ulang, masih banyaknya peraturan perundang-undangan terkait dengan pengelolaan SDA dan LH yang belum dilakukan revisi sesuai dengan perkembangan kebutuhan riil masyarakat, dan lambat serta adanya indikasi inkonsistensi dalam meletakkan prioritas perubahan kebijakan pengelolaan SDA dan LH yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan yang fundamental misalnya pengundangan RUU PSDA.

LITERATUR
Henri Subagiyo, Menegaskan Arah Revisi UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, tulisan dimuat dalam Buletin Ecojustice, Edisi 29 Januari 2007, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), 2007, Jakarta.
Mas Achmad Santosa, SH. LL.M., Peran Reformasi Hukum Dalam Mewujudkan Good Environmental Governance. Makalah disampaikan pada Environmental Law and Enforcement Training in Indonesia, Indonesia- Australia Specialised Training Project (IASTP) III. Manado, 19-24 September 2005. Lihat juga Mas Achmad Santosa, SH. LL.M, Topic I: Sustainable Development, Good Governance and Environemntal Law, disampaikan pada Environmental Law and Enforcement Training in Indonesia, Indonesia-Australia Specialized Training Project (IASTP) III. Manado, 19-24 September 2005.
Mas Achmad Santosa, SH.LL.M., Good Governance dan Hukum Lingkungan, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Jakarta, 2001.
Salah Urus Sumber Daya Alam, Majalah Tambang, Volume 2 No. 12/Mei 2007, hal 51.
Kaleideskop Lingkungan 2006, Walhi, April-Mei 2007
Kualitas Udara Jakarta Makin Memprihatinkan, Pikiran Rakyat, 28 September 2004.
Laju Kerusakan Hutan di Indonesia, Terparah di Planet Bumi,
www.gatra.com, diakses pada tanggal 8 April 2006.
Nasib Hutan Kita yang Semakin Suram,
www.pelangi.or.id, diakses pada tanggal 8 April 2006.
Berbagai Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia
1 Tulisan ini disajikan untuk Jurnal Manifest, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, Juni 2007.
2 Penulis adalah mantan pegiat Forum Kajian dan Penelitian Hukum (FKPH) Fakultas Hukum Brawijaya. Saat ini penulis menjadi staf peneliti dalam Divisi Pembaruan Hukum dan Kebijakan, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Jakarta.
3 www.gatra.com, Laju Kerusakan Hutan di Indonesia, Terparah di Planet Bumi, Diakses pada tanggal 8 April 2006.
4 www.pelangi.or.id, Nasib Hutan Kita yang Semakin Suram, diakses pada tanggal 8 April 2006.
5 Salah Urus Sumber Daya Alam, Majalah Tambang, Volume 2 No. 12/Mei 2007, hal 51.
6 Kualitas Udara Jakarta Makin Memprihatinkan, Pikiran Rakyat, 28 September 2004.
7 Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Tahun 2004-2009
8 Henri Subagiyo, Menegaskan Arah Revisi UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, tulisan dimuat dalam Buletin Ecojustice, Edisi 29 Januari 2007, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), 2007, Jakarta.
9 Mas Achmad Santosa, SH. LL.M., Peran Reformasi Hukum Dalam Mewujudkan Good Environmental Governance. Makalah disampaikan pada Environmental Law and Enforcement Training in Indonesia, Indonesia-Australia Specialised Training Project (IASTP) III. Manado, 19-24 September 2005. Lihat juga Mas Achmad Santosa, SH. LL.M, Topic I: Sustainable Development, Good Governance and Environemntal Law, disampaikan pada Environmental Law and Enforcement Training in Indonesia, Indonesia-Australia Specialized Training Project (IASTP) III. Manado, 19-24 September 2005.
10 Lihat Pasal 33 UUD 1945
11 Lihat Pasal 28 H UUD 1945
12 Lihat Lampiran Bab I tentang Permasalahan dan Agenda Pembangunan Nasional Tahun 2004-2009, Perpres 7/2005, hal 19.
13 Lihat Lampiran Bab 32 tentang Perbaikan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup Tahun 2004-2009, Perpres 7/2005, hal 1.
14 Mas Achmad Santosa, SH.LL.M., Good Governance dan Hukum Lingkungan, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Jakarta, 2001, hal 13