Purnawan D Negara : ‘Climate Justice’ dan Pembayaran Utang Ekologi

.

Siang itu beruntunglah kami karena tidak turun hujan, karena perbincangan kami dengan Purnawan D Negara atau akrab dipanggil mas Pupunk tentu akan tertunda lagi. Pria berkumis ini berbicara menggebu tentang penolakan WALHI dengan konsep REDD yang coba ditelurkan delegasi Indonesia dalam KTT Perubahan Iklim di Bali.



Indonesia yang dalam KTT Bali di wakili oleh Emil Salim sebagai ketua delegasi Indonesia, membawa satu misi yakni menelurkan konsep REDD (Reduce Emissions from Deforestation and Degradation). Konsep ini mengharuskan negara-negara maju sebagai penyumbang karbon terbesar membayar kompensasi atas karbon yang dihasilkan kepada negara-negara berhutan tropis yang berpotensi besar mengurangi konsentrasi CO2 di atmosfir.
Indonsia sendiri ternyata termasuk dalam urutan ke 3 dari lima negara penyumbang CO2 terbanyak. Bagaimana tidak, di Kalimantan berhektar-hektar hutan dibabat untuk perluasan kebun kelapa sawit. Institusi lingkungan PBB pada awal tahun ini menerbitkan sebuah laporan. Isinya, perkebunan kelapa sawit menjadi titik pangkal kerusakan hutan-hutan tropis di Indonesia dan Malaysia. Belum lagi akibat pembalakan liar, pencurian kayu, pembukaan lahan illegal dan tindakan pembiaran oleh pemerintah terhadap lahan-lahan kosong. Sekarang mari kita simak hasil wawancara team kami dengan aktivis lingkungan yang akrab disapa ‘Pu2nk’ ini :

Bagaimana komentar mas tentang hasil KTT Perubahan Iklim di Bali (Bali Road Map)?

Terus terang saya tidak mengerti secara detail isi dari Bali Road Map sendiri. Tetapi bila itu menyangkut pelaksanaan REDD meskipun tidak disebutkan secara gamblang mengenai konsep ini, tentu saja saya sendiri akan banyak tidak setuju. Anda tahu sendiri bagi masyarakat sipil mungkin pembayaran kompensasi ini positif, tetapi dibalik itu kita jauh dirugikan.

Dirugikan seperti apa mas?

Ada suatu kondisi ketidakadilan secara ekologis dan economic dimana kita sebagai negara berkembang hanya melihat keuntungan itu sekedar apa yang tampak karena kita mungkin keburu bayar utang, tetapi dari perhitungan matematis kita malah banyak buntungnya daripada untungnya.
Nah global warming pun demikian. Ada utang ekologis yang harus mereka bayar yang mereka tidak sadari. Mereka merasa sudah membayar pajak, sudah sharing konsesinya sekian persen, selesai sudah. Dan tidak pernah terpikir sebuah perusahaan tambang, begitu selesai nambang, misalnya buyat, sampai menyisakan lubang-lubang besar seperti danau. Tapi mereka tidak pernah menyisakan dana untuk rehabilitasi kembali seperti kondisi semula. Itu yang sebenarnya tidak pernah terpikir baik dari segi yuridis, ketentuan-ketentuan yang ada maupun kebijakan-kebijakan di Indonesia. Yang ada adalah ada investasi yang masuk dan itu kemudian membuka lapangan kerja, dan kemudian menghasilkan pajak.
Nah global warming yang diinginkan temen-temen walhi dengan istilah climate justice/keadilan iklim karena ada bentuk ketidakadilan secara ekologis. Yakni dimana negara-negara maju ingin mengeksploitasi saja dan itu kemudian menimbulkan persoalan yang bebannya ditaggung oleh negara berkembang. Sedangkan sementara mereka menanggung untungnya.
Negara maju itu kan curang. Mereka bisa maju seperti sekarang ini bermula dari adanya revolusi industri, mereka dulu negara agraris, mereka menghabisi hutan-hutan mereka untuk keperluan industri. Nah sekarang ada negara-negara berkembang yang ingin jadi industri dengan modus yang sama yaitu ingin mengeksploitasi hutan. Mereka, negara maju, melarang eksploitasi hutan Negara berkembang. Beberapa kali Indonesia diboikot karena termasuk negeri perusak hutan. Ternyata mereka menginginkan hutan negara berkembang untuk menangkap karbon dari industri yang mereka lakukan. Hutan ini, kalo istilahnya menurut WALHI, mereka ingin melakukan moratorium loging yakni jeda penghentian untuk mengekploitasi hutan. Untuk apa? Ya untuk kepentingan menangkap karbon. Hal itu memang baik dan positif, tetapi secara kearifan lokal, nanti akan memunculkan kebijakan-kebijakan larangan untuk mengeksploitasi hutan. Nah ada sekelompok masyarakat yang dalam kehidupan sehari-harinya memanfaatkan hutan sehingga merekalah yang paling besar terkena imbasnya. Kemudian yang kedua apabila dilakukan kompensasi, pembayaran ini dilakukan terhadap siapa? Kalo dibayarkan kepada negara, mekanismenya bagaimana? sementara negara kita mempunyai kecenderungan korup yang tinggi.

Kemudian ada kawasan hutan yang telah dikonversi dan ada juga yang sudah du HPHkan. Selain itu ada yang dibuka untuk kebun sawit. Pemerintah masih menganggap itu hutan. Tetapi bagi kita (WALHI) itu kebun kayu, itu bukan hutan. Tetapi pengelola kebun-kebun sawit ini juga menginginkan kompensasi karena dia telah menjaga hutan yang notabene menurut saya bukanlah hutan. Dan di Bali seperti itu, para pelaku industri-industri kayu macam itu juga berdatangan kesana mengintip dan mencoba untuk mencari keuntungan dari mekanisme ini. Nah Amerika kemarin merupakan negara yang mengolor-ngolor tidak mau tanda tangan. Baru setelah adanya desakan dari masyarakat internasional, masyarakat sipil, desakan juga dari Al-Gore, kemudian di detik-detik terakhir mereka mau menandatangani konferensi perubahan iklim. Nah secara de facto dan de Yure ini sudah maju satu langkah. Ini artinya Amerika telah bersedia megurangi emisi itu. Teknis selanjutnya bagaimana cara mengurangi, berapa jumlah emisi yang harus dikurangi, apa sangsinya kalau hal itu tidak dipenuhi. Maaf saya belum mengetahui secara detil. Makanya PBB harus mengelola mekanisme itu dengan tidak mengelola sendiri tetapi masyarakat negara-negara berkembang harus diikutsertakan.

Maladewa adalah salah satu kepulauan yang paling pertama menerima dampaknya. Jadi ada suatu komunitas masyarakat dalam satu pulau, karena global warming mengakibatkan mencainya es di kutub utara sehingga air laut naik. Akhirnya kepulauan kecil ini terendam air laut dan penduduknya terpaksa pindah. Mereka menangis karena sudah tercerabut dari kearifan lokalnya, dari budaya leluhurnya, ikatan agamanya. Mereka negara-negara maju tidak pernah terfikirkan akan itu, karena negara-negara maju umumnya berada di kawasan-kawasan daratan, mereka tidak pernah merasakan di negara-negara kepulauan kecuali Jepang, tapi jepang juga sudah tanda tangan. Negara-negara seperti singapura itu yang paling khawatir, karena tenggelamnya nomor satu.


Ada apa dibalik konsep REDD mas?

Bila diruntut dari awal data Debtwatch ini menunjukkan bahwa negara-negara maju mempunyai utang ekologi kepada negara-negara berkembang. Kerusakan-kerusakan lingkungan di negara berkembang yang disebabkan oleh negara maju ini harus dianggap utang dan harus dibayar oleh mereka. Inilah yang tidak pernah disadari. Ya, kita emang punya utang uang kepada mereka, tetapi mereka juga mempunyai utang ekologi kepada kita.
Sedangkan konsep REDD (Reduce Emission from Deforestation and Degradation) ini mereka negara maju harus membayar kompensasi atas hutan yang ada di kawasan negara berkembang sebagai jasa untuk menangkap karbon dari industri yang mereka lakukan. Jadi kasarannya Indonesia ini dijadikan WC untuk tempat sampah bagi emisi yang mereka keluarkan. Sementara kita negara berkembang tidak boleh menuntut mereka untuk mengurangi emisi dengan alasan mereka telah membayar. Ini sangat konyol sekali. Bila seperti ini global warming akan stuck ditempat saja.

Negara-negara maju seperti Amerika serikat dan Uni Eropa terkesan tidak serius dengan KTT bali karena sepakat dengan perkecualian-perkecualian?

Iya betul, jadi konferensi Tingkat Tinggi tentang perubahan iklim di Bali kemarin, sebetulnya pada prinsipnya tidak membicarakan persoalan perlindungan iklim. Meskipun kemasannya adalah konferensi tentang perubahan iklim yang membuat orang berasumsi konferensi itu akan membahas nasib masyarakat didunia diakibatkan oleh persoalan global warming. Dimana global warming ini kontributor terbesarnya adalah dari industri-industri dari negara-negara annex 1 atau negara-negara maju (G8) termasuk jepang. Negara-negara ini memberi kontribusi besar terakumulasinya gas rumah kaca (GRK) di permukaan bumi. Dimana GRK tersebut kontribusi terbesar berasal dari bahan baker fosil. Bahan bakar fosil ini digunakan oleh industri-industri negara-negara maju sebagai bahan bakar. Efek sampingnya inilah yang kemudian menimbulkan GRK di ruang angkasa. GRK tersebut salah satunya adalah Carbon dan karbon ini bisa dikurangi atau ditangkap dengan tanaman, tumbuh-tumbuhan, pohon. Pohon diasumsikan sebagai hutan. Dan juga Negara-negara maju ini sebgaian besar belum menandatangani protocol Kyoto. Seandanya menandatangani maka mereka harus mengurangi emisi karbon terutama dari industrinya. Tapi mereka tidak mau karena akan menimbulkan permasalahan terhadap industrinya. Jadi industrinya akan bangkrut atau collaps apabila emisinya dikurangi sedikit saja. Karena sangat tergantungnya industri-industri mereka terhadap bahan bakar fosil tersebut.

Mungkin gambaran yang paling gamblang mengapa Amerika menyerang Irak dengan alasan yang dibuat-buat dan tidak jelas. Irak yang punya energi nuklirlah, yang menjadi ancaman dan lain sebagainya. Sebetulnya yang dicari adalah minyak untuk suplay bahan bakar industri mereka tadi.

Di Bali itu sama sekali tidak membahas penyelesaian global warming tetapi mengenai persoalan ‘dagang karbon’ jual-beli karbon. Artinya negara maju yang mengeluarkan GRK ini ingin negara-negara berkembang yang hutannya relative masih luas mengurangi eksploitasi besar-besaran terhadap hutan itu. Nah hutan itu dipergunakan sebagai closet atau WC untuk menangkap karbon yang dihasilkan oleh negara-negara maju. Sehingga negara-negara maju di Bali kemarin mau membayar kompensasi atas hutan yang kita miliki. Tetapi konsekuensinya negara berkembang sama sekali tidak boleh menuntut supaya negara maju mengurangi emisinya. Karena kan sudah cukup ada kompensasinya. Jasa menangkap karbon buangan inilah yang mereka bayar. Sehingga disini muncul istilah dagang karbon yang dibicarkan disana Menurut WALHI ini sungguh tidak adil. Sehingga WALHI melahirkan istilah ‘climate justice’ bahwa kita tidak boleh menjadi WC atau closet dari negara maju.


Yang kita inginkan jasa lingkungan harus tetap dibayar karena mereka tetap punya utang secara ekologis. Mereka atas PMA yang ada di negara kita yang berkaitan dengan SDA itu hanya bersifat mengeksploitasi. Tetapi mengkonservasi itu tidak ‘masih jauh panggang dari Api’. Nah itu yang kemudian WALHI bisa menerima bila hutan kita itu dibayar jasanya, pengurangan emisi juga harus tetap dilakukan. Sehingga istilahnya climate justice, keadilan iklim. Ini bukan hanya Indonesia, tetapi negara-negara yang relative sedang membangun punya hutan luas yang secara ekologi dieksploitasi oleh negara-negara maju. Kerena negara-negara maju secara langsung ikut merusak meskipun dari eksploitasi itu dia menghasilkan pajak, menghasilkan kompensasi untuk masyarakat di sekitar situ, tetapi belum pernah ada perhitungan antara keuntungan yang diperoleh dari tambang, minyak dan lain sebagainya itu dengan kerusakan ekologi yang kita derita. Jangan-jangan dari hasil tambang dan eksploitai itu jauh lebih sedikit untung ketimbang kerusakan lingkungan yang terjadi. Misalnya, di Buyat, kita memperoleh uang segar, capital dan lain sebagainya tetapi kita tidak pernah menghitung apakah keuntungan yang kita peroleh itu sebanding harganya dengan kerusakan lingkungan yang kita derita. Jadi kalau ditotal secara matematis, ternyata keruskan lingkungan itu rupiahnya jauh lebih besar ketimbang keuntungan yang diperoleh. Jadi bukan untung malah buntung.

Inilah yang belum ada, perhitungan secara nominal dari Green Domestic Product. Cotohnya sekarang orang ramai membicarakan bahan bakar bio fuel, bahan bakar ramah lingkungan. Orang menganggap bio fuel sebagai sesuatu yang positif sehingga perlu ditanam kelapa sawit. Sekarang pertanyaannya untuk Indonesia apakah tanah untuk mobil ataukah tanah untuk pangan? Sedangkan kalau tanah untuk mobil itu untuk industrinya siapa sih? Ya, negara-negar yang memproduksi mobil yang rata-rata adalah negara maju.

Mengenai pembayaran kompensasi tadi bila dilimpahkan ke Pemerintah tidak memungkinkan, bagaimana bila ada lembaga Internasional yang didirikan khusus untuk menangani dana kompensasi dan mengawasi penggunaan dana tersebut?

Ini lembaga independent atau apa? karena sebetulnya yang punya inisiatif ini adalah PBB. Sehingga yang akan mengelola kan PBB. Kalaupun PBB mempunyai organ seperti itu yang itu independent dan tidak bersifat seperti bank dunia, bank dunia ini bukan dibawah PBB ya, tapi dia dibawah negara-negara maju. Kemarin bank dunia sangat-sangat berkepentingan sekali dengan KTT di Bali. Saya kira bila ada lembaga yang independen yang mengelola, itu menjadi suatu yang positif. Tetapi bagaimana dengan negara-negara yang memiliki kawasan-kawasan hutan, sedangkan hutan itukan tidak dikelola oleh masyarakat. Bukan oleh masyarakat adat, masyarakat adat memang diakui. Persoalannya hak ulayat itu tidak banyak diakui, walaupun secara yuridis diakui tetapi secara de facto hak ulayat ini hanya sebatas diatas kertas. Bila seperti itu apakah nanti masyarakat yang mempunyai hak ulayat seperti itu akan juga menerima kompensasi dari jasa menjaga hutan itu?
Kalau pun ada lembaga independent yang mengelola itu, tentu juga banyak kontroversi karena negara-negara tersebut juga punya kepentingan yaitu bayar utang dari jasa lingkungan itu, selain untuk memperbaiki, merehabilitasi kemudian sebagian juga untuk membayar utang. Penyaluran uang-uang itu yang maunya masuk ke kas negara dan kemudian dikelola oleh negara lewat program-program yang sudah dicanangkan. Dintegrasikan ke program pemerintah. Nah itulah nanti takutnya di korup. Dikorup itukan bisa legal bisa illegal. Misalnya saja pendidikan 20%, harusnya murni 20% tidak termasuk gaji guru, peralatan, beli ini itu.

Kalau di Malang sendiri gimana mas?

Pada prinsipnya global warming itu dapat diatasi dengan pohon. Nah dalam konteks malang itu berarti pohon dapat digunakan untuk mengurangi pemanasan global. Karena itu kita tidak perlu muluk-muluk untuk mengurangi pemanasan global misalnya dengan menanam pohon. Menanam pohon baik, tetapi itu bukan merupakan satu-satunya cara untuk itu. Kemarin menyambut konvensi ini dilakukan menanam sejuta pohon. Itu sifatnya hanya sekedar memaknai lingkungan, memaknai pemasalahan global warming hanya sebatas ceremonial saja. Global warming dalam lingkup pemerintah local yang diperlukan sebenarnya adalah komitmen dan kebijakan-kebujakan yang memang berpihak pada lingkungan. Sebagaimana yang sering terjadi bahwa persoalan perusakan dan pencemaran lingkungan di tingkatan lokal lebih banyak disebabkan oleh kebijakan-kebijakan dan birokrasi yang tidak biokrasi, yang tidak punya visi tidak punya komitmen terhadap lingkungan. Kalupun dia mengeluarkan kebijakan mengenai lingkungan itu adalah kebijakan-kebijakan yang justru merusak dan mencemarkan hutan di wilayah itu. Dalam hal ini saya ambil sample bagaimana pemerintah kota malang itu mengurangi luasan kawasan ruang terbuka hijau dengan kebijakan-kebijakan yang kontra produktif. Jadi meskipun ada program malang ijo royo-royo dengan gencar seperti apapun, saya jamin masyarakat tidak akan percaya apabila pada saat yang sama pemerintah lokal juga melakukan tindakan-tindakan yang eko-anarkhis. Tindakanyang anarkhi terhadap ekologi kawasan local. Sehinggga dari situlah sebetulnya kita bisa melihat bahwa lingkungan itu masih dimaknai sampah, lingkungan masih dimaknai pohon, mencegah global warming itu masih dimaknai pohon. Padahal di Indonesia itu global warming cara mengatasinya yang paling utama adalah bagaimana pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebujakan yang mendorong kearah pengurangan eksploitasi terhadap kawasan-kawasan ekologi.

Jadi di malang ini banyak peguasa politis sehingga mereka belum bisa mengedepankan kepentingan masyarakat diatas kepentingan partai mereka. Dalam artian kesadaran hukum mereka terhadap lingkungan mereka jauh lebih rendah dari kesadaran politis masyarakatnya. Karena perlu diingat definisi lingkungan dalam UU lingkungan salah satu teksnya itu menyatakan bahwa manusia dan perilakunya juga merupakan bagian dari ekosistem. Sehingga manusia itu adalah bagian dari lingkungan. Dan bila dia adalah walikota, dia juga merupakan bagian dari lingkungan. Kalau di Malang bukanlah kebijakan yang semakin mengurangi ruang terbuka hijau yang dibuat. Tetapi pertahankan ruang terbuka hijau yang tersisa dan kalau bisa menambahnya menjadi luasan yang ideal yakni 30% dari luas seluruh wilayah kota malang. Kalau kota malang itu luasnya 110.06 km2 maka 30% dari luasan itu adalah ruang terbuka hijau. Kita belum menemukan itu di Malang.
Sebetulnya masih banyak lagi yang ingin saya bagi sama teman-teman tapi saya harus ‘ngajar’ sekarang,..

(team)