TEKNIK PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP SECARA LITIGASI DAN NON LITIGASI

.
Aan Eko Widiarto - Staf Pengajar FHUB/alumni ManifesT


Sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang ditimbulkan oleh adanya atau diduga adanya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
A. Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup melalui Pengadilan (Litigasi)
Tata cara pengajuan gugatan dalam masalah lingkungan hidup oleh orang, masyarakat, dan/atau organisasi lingkungan hidup mengacu pada Hukum Acara Perdata yang berlaku.
1. Hak Masyarakat dan Organisasi Lingkungan Hidup untuk Mengajukan Gugatan
Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan (gugatan class action) ke pengadilan dan/atau melaporkan ke penegak hukum mengenai berbagai masalah lingkungan hidup yang merugikan perikehidupan masyarakat. Jika diketahui bahwa masyarakat menderita karena akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup sedemikian rupa sehingga mempengaruhi perikehidupan pokok masyarakat, maka instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup dapat bertindak untuk kepentingan masyarakat.
Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan pola kemitraan, organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Hak mengajukan gugatan tersebut terbatas pada tuntutan untuk hak melakukan tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil.
Organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan tersebut (gugatan legal standing) apabila memenuhi persyaratan:
a. Berbentuk badan hukum atau yayasan;
b. Dalam anggaran dasar organisasi lingkungan hidup yang bersangkutan menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup;
c. Telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.
2. Daluwarsa untuk Pengajuan Gugatan
Tenggang daluwarsa hak untuk mengajukan gugatan ke pengadilan mengikuti tenggang waktu sebagaimana diatur dalam ketentuan Hukum Acara Perdata yang berlaku, dan dihitung sejak saat korban mengetahui adanya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Ketentuan mengenai tenggang daluwarsa tersebut tidak berlaku terhadap pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh usaha dan/atau kegiatan yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun dan/atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun.
3. Tanggung Jawab Mutlak
Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang usaha dan kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, dan/atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun, bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan, dengan kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dapat dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi jika yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup disebabkan salah satu alasan di bawah ini:
a. Adanya bencana alam atau peperangan; atau
b. Adanya keadaan terpaksa di luar kemampuan manusia; atau
c. Adanya tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
Dalam hal terjadi kerugian yang disebabkan oleh pihak ketiga, pihak ketiga bertanggung jawab membayar ganti rugi.
4. Ganti Rugi
Setiap perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup, mewajibkan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu. Selain pembebanan untuk melakukan tindakan tertentu tersebut, hakim dapat menetapkan pembayaran uang paksa atas setiap hari keterlambatan penyelesaian tindakan tertentu tersebut.
B. Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan (Non Litigasi)
Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan merupakan pilihan para pihak dan bersifat sukarela. Para pihak juga bebas untuk menentukan lembaga penyedia jasa yang membantu penyelesaian sengketa lingkungan hidup. Lembaga penyedia jasa menyediakan pelayanan jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup dengan menggunakan bantuan arbiter atau mediator atau pihak ketiga lainnya.
Apabila para pihak telah memilih upaya penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil secara tertulis oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa atau salah satu atau para pihak yang bersengketa menarik diri dari perundingan.
Berdasarkan Pasal 30 UU 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini. Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa.
Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu guna menjamin tidak akan terjadinya atau terulangnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup. Dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dapat digunakan jasa pihak ketiga, baik yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan maupun yang memiliki kewenangan mengambil keputusan, untuk membantu menyelesaikan sengketa lingkungan hidup.
Dalam rangka menyelesaikan sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan, maka mekanismenya menggunakan Alternatif Penyelesaian Sengketa sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.
Mekanisme penyelesaian sengketa dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri.
b. Penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui alternatif penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud di atas diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh para pihak dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dan hasilnya dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis.
c. Dalam hal sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud di atas tidak dapat diselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator.
d. Apabila para pihak tersebut dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dengan bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator tidak berhasil mencapai kata sepakat, atau mediator tidak berhasil mempertemukan kedua belah pihak, maka para pihak dapat menghubungi sebuah lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa untuk menunjuk seorang mediator.
e. Setelah penunjukan mediator oleh lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa, dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari usaha mediasi harus sudah dapat dimulai.
f. Usaha penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui mediator dengan memegang teguh kerahasiaan, dalam waktu paling lama 30 ( tiga puluh ) hari harus tercapai kesepakatan dalam bentuk tertulis yang ditandatangani oleh semua pihak yang terkait.
g. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik serta wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan.
h. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat wajib selesai dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 ( tiga puluh) hari sejak pendaftaran.
i. Apabila usaha perdamaian tersebut tidak dapat dicapai, maka para pihak berdasarkan kesepakatan secara tertulis dapat mengajukan usaha penyelesaiannya melalui lembaga arbitrase atau arbitrase ad–hoc.
C. Tata Cara Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup
melalui Lembaga Penyedia Jasa
Dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dapat digunakan jasa pihak ketiga, baik yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan maupun yang memiliki kewenangan mengambil keputusan, untuk membantu menyelesaikan sengketa lingkungan hidup. Dengan demikian salah satu yang ditempuh yaitu melalui Lembaga Penyedia Jasa.
Para pihak atau salah satu pihak yang bersengketa dapat mengajukan Permohonan bantuan untuk penyelesaian sengketa lingkungan hidup kepada lembaga penyedia jasa dengan tembusan disampaikan kepada instansi yang bertangung jawab di bidang Pengendalian Dampak Lingkungan atau instansi yang bertanggung jawab di bidang Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah yang bersangkutan.
Instansi yang menerima tembusan permohonan bantuan untuk penyelesaian sengketa lingkungan hidup dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari wajib melakukan verifikasi tentang kebenaran fakta-fakta mengenai permohonan penyelesaian sengketa lingkungan hidup dan menyampaikan hasilnya kepada lembaga penyedia jasa yang menerima permohonan bantuan penyelesaian sengketa lingkungan hidup. Lembaga penyedia jasa dalam waktu tidak lebih dari 14 (empat belas) hari sejak menerima hasil verifikasi wajib mengundang para pihak yang bersengketa.
Apabila cara ini tidak berhasil menyelesaikan masalah maka para pihak dapat menggunakan mekanisme arbitrase atau menggunakan mediator. Tata cara penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui arbiter tunduk pada ketentuan arbitrase. Sedangkan penyelesaian dengan menggunakan Mediator atau Pihak Ketiga Lainnya dilakukan sebagai berikut.
Para pihak yang bersengketa berhak untuk memilih dan menunjuk mediator, atau pihak ketiga lainnya dari lembaga penyedia jasa. Penyelesaian sengketa melalui mediator atau pihak ketiga lainnya tunduk pada kesepakatan yang dibuat antara para pihak yang bersengketa dengan melibatkan mediator atau pihak ketiga lainnya. Kesepakatan tersebut memuat antara lain:
a. masalah yang dipersengketakan;
b. nama lengkap dan tempat tinggal para pihak;
c. nama lengkap dan tempat tinggal mediator atau pihak ketiga lainnya;
d. tempat para pihak melaksanakan perundingan
e. batas waktu atau lamanya penyelesaian sengketa;
f. pernyataan kesediaan dari mediator atau pihak ketiga lainnya;
g. pernyataan kesediaan dari salah satu pihak atau para pihak yang bersengketa untuk menanggung biaya;
h. larangan pengungkapan dan/atau pemyataan yang menyinggung atau menyerang pribadi;
i. kehadiran Pengamat, ahli dan/atau nara sumber;
j. larangan pengungkapan infonnasi tertentu dalam proses penyelesaian sengketa secara musyawarah kepada masyarakat;
k. larangan pengungkapan catatan dari proses serta hasil kesepakatan.
Dalam proses penyelesaian sengketa, penunjukan mediator atau pihak ketiga lainnya dapat dianggap tidak sah atau batal dengan alasan:
a. Mediator atau pihak ketiga lainnya menunjukkan keberpihakan; dan/atau
b. Mediator atau pihak ketiga lainnya menyembunyikan informasi tentang syarat-syarat yang seharusnya dipenuhi
Apabila terjadi hal yang demikian itu maka :
a. mediator atau pihak ketiga lainnya wajib mengundurkan diri; atau
b. para pihak atau salah satu pihak berhak menghentikan penugasannya.
Kesepakatan yang dicapai melalui proses penyelesaian sengketa dengan menggunakan mediator atau pihak ketiga lainnya wajib dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis di atas kertas bermaterai yang memuat antara lain:
a. nama lengkap dan tempat tinggal para pihak;
b. nama lengkap dan tempat tinggal mediator atau pihak ketiga lainnya;
c. uraian singkat sengketa;
d. pendirian para pihak;
e. pertimbangan dan kesimpulan mediator atau pihak ketiga lainnya;
f. isi kesepakatan;
g. balas waktu pelaksanaan isi kesepakatan;
h. tempat pelaksanaan isi kesepakatan;
i. pihak yang melaksanakan isi kesepakatan.
Isi kesepakatan tersebut dapat berupa antara lain:
a. bentuk dan besarnya ganti kerugian; dan/atau
b. melakukan tindakan tertentu guna menjamin tidak terjadinya atau terulangnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup.
Kesepakatan tersebut ditandatangani oleh para pihak dan mediator atau pihak ketiga lainnya. Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal ditandatanganinya kesepakatan tersebut, lembar asli atau salinan otentik kesepakatan diserahkan dan didaftarkan oleh mediator atau pihak ketiga lainnya atau salah satu pihak atau para pihak yang bersengketa kepada Panitera Pengadilan Negeri.
D. Contoh Model Mekanisme Pengaduan dan Sengketa Lingkungan Hidup di Kota Semarang
Sebagai contoh kasus riil, berikut ini Mekanisme Pengaduan dan Sengketa Lingkungan Hidup di Kota Semarang.
1. Sumber kasus berasal dari aduan masyarakat, media cetak, elektronik, laporan dari dinas/instansi, penemuan lapangan pada saat pemantauan, inspeksi dan pembinaan.
2. Pencatatan kasus masuk ke Bapedalda Kota Semarang.
3. Peninjauan lapangan :
a. Pengumpulan bahan keterangan (Pulbaket)
b. Pengambilan sample (analisa laboratorium)
4. Pemeriksaan laboratorium (7 hari).
5. Rapat koordinasi dengan stakeholder (kalau perlu dikoordinasikan) :
a. Instansi terkait
b. Warga masyarakat yang terkena dampak
c. Perguruan Tinggi
d. LSM
6. Pemberian surat kewajiban pengelolaan lingkungan (30 hari).
7. Apabila kewajiban pengelolaan lingkungan tidak diindahkan maka kegiatan usaha /industri mendapat :
1. Surat Peringatan I : 30 hari
2. Surat Peringatan II : 30 hari
3. Surat Peringatan III : 30 hari
8. Penyelesaian kasus bisa dilakukan melalui :
1. Di luar pengadilan dengan menggunakan ADR (Alternative Dispute Resolution)
2. Pengadilan
Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan pada akhirnya diorientasikan untuk memberdayakan mekanisme hukum selain proses pengadilan. Dengan demikian diharapkan tidak terjadi win lose solution sebagaimana selama ini terjadi ketika masalah selalu dibawa ke pengadilan. Satu pihak merasa menang sementara itu pihak lainnya merasa kalah. Dengan adanya mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan diharapkan akan terjadi win win solution karena keputusan penyelesaian diambil dengan kesadaran pernuh para pihak dan dengan cara yang disepakati para pihak.
Mekanisme inilah yang perlu terus dilakukan ke depan sehingga dapat menghindari “kemacetan keadilan” akibat buruknya praktek peradilan di Indonesia. Namun tantangan berat juga terjadi ketika kesadaran hukum masyarakat masih rendah dan merasa belum puas dalam penyelesaian sengketa ketika belum di bawa ke pengadilan. Hal ini meripakan tantangan tersendiri menyangkut sikap mental dan kemauan untuk berubah menuju yang lebih baik.