AKSES KEADILAN UNTUK PEREMPUAN?

.
AKSES KEADILAN UNTUK PEREMPUAN?
ITU SULIT!


Perempuan itu……

Perempuan di Indonesia itu jumlahnya ½ dari populasi,1/2 nya lagi adalah makhluk Tuhan yang kita sebut laki-laki. Keduanya berbeda secara fisik dan juga jiwa, namun sama-sama memiliki hak untuk beraktualisasi di dunia ini, boleh memilih dan dipilih, boleh bekerja, boleh mengurus rumah, boleh berpolitik, dan juga sama-sama memiliki akses yang sama di segala bidang, termasuk akses untuk mendapatkan bantuan hukum.
Di Indonesia negara kita tercinta ini telah berakar paham patriarki yang sangat kuat, dimana segala macam keputusan penting hanya boleh diputuskan oleh kaum laki-laki. Jangankan dalam kedudukan di pemerintahan, kedudukan di dalam keluarga saja perempuan selalu menjadi pihak yang harus menurut ini itu kepada suaminya dan selalu menerima keputusan dari suami, dan itu mutlak serta dianggap biasa dalam budaya sistem patriarki. Didalam pemerintahan negara kita, perempuan masih sedikit mendapatkan tempat dan kedudukan yang seimbang dengan kaum laki-laki, akses perempuan dalam berpolitik masih terbatas, tidak sebanding dengan kemudahan akses berpolitik yang dimiliki oleh laki-laki. Hal ini cenderung menyebabkan perempuan sulit untuk mendapatkan akses ke segala bidang layaknya laki-laki. Perempuan jadi terkesan dan dianggap lemah oleh sebagian besar umat manusia, untuk di Indonesia sendiri masih banyak anggapan bahwa perempuan tak bisa berbuat banyak untuk masyarakat dan negaranya. Anggapan yang payah! Payah karena sekarang ini perempuan juga mampu berpolitik, membangun bisnis dan sebagainya dan seharusnya tak ada lagi diskriminasi terhadap kaum perempuan di Indonesia dan di dunia.
Budaya patriarki adalah penyebab utama peran perempuan menjadi sangat minoritas, serta menghambat akses perempuan untuk berkembang dan memajuikan kaumnya. Disisi lain juga ternyata karena budaya, perempuan itu merasa tidak perlu untuk memikirkan politik apalagi pemerintahan dan segala mata rantainya, mereka sudah merasa cukup adil dengan keadaannya yang notabene ada dalam penguasaan kaum laki-laki. Tidak bisa mengembangkan diri dengan mengikuti kehendak sendiri, merupakan suatu pengekangan psikis. Bahkan yang miris, masih banyak pula para perempuan yang malu dan takut melaporkan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki terhadapnya karena budaya masyarakat menciptakan iklim pola pikir yang menyudutkan pihak perempuan bila terjadi pelecehan maupun kekerasan terhadap seorang perempuan. Apalagi jika sudah menyangkut kekerasan suami pada istrinya, masih dianggap tabu untuk memperbincangkannya apalagi melaporkannya kepada pihak yang berwenang. Inilah budaya yang tidak adil. Sepihak. Dan tidak mengakomodasi kepentingan semua pihak. Apabila hal seperti ini terus terjadi dan berulang kali terjadi, maka perempuan benar-benar akan menjadi kaum lemah selamanya.
Kaum perempuan di Indonesia masih sangat sulit untuk mendapatkan hak yang setara dengan kaum laki-laki sebagai warga negara. Misalnya hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan hukum, masih ada saja peraturan yang mendiskriminasi kaum perempuan. “Menurut Dr.Gadis Arivia dalam bukunya yang berjudul Filsafat Berperspektif Feminis, menyatakan bahwa munculnya diskriminasi terhadap kaum perempuan beserta Seluruh pengalaman dan pemikirannya berakar sekitar sepuluh ribu tahun yang lalu, sejak milenium keempat Sebelum Masehi. Pada saat itu laki-laki mulai membangun apa yang dinamakan dengan patriarki-supremasi laki-laki. Dalam karyanya A Discourse on Political Economy (1755), Jean Jaques Rousseau secara konsisten memandang perempuan sebagai makhluk inferior dan tersubordinasi”(sumber: Ideologi Gerakan Kaum Perempuan Edisi 22 Tahun 2005).


Masalah-Masalah Perempuan……

Sebagai makhluk sosial, tentu saja perempuan juga meiki segudang masalah sama pula dengan pihak laki-laki. Namun pada kenyataannya perempuan tidak sebebas kaum laki-laki untuk memperoleh akses disegala bidang, baik di bidang sosial, ekonomi, politik, budaya, sipil maupun di bidang-bidang lainnya. Ini menjadi maslah tersendiri bagi perempuandi Indonesia khususnya dan dunia pada umumnya. Belum lagi masalah perempuan di dalam rumah tangga yang tak kalah peliknya jika harus diselesaikan, apalagi di hadapan hakim di dalam sebuah persidangan, seperti misalnya masalah kekerasan dalam rumah tangga dan pemaksaan serta pengekangan kebebasan perempuan.
Perempuan karena budaya yang ada dalm masyarakatnya lebih seringmendapatkandoktrin-doktrin yang sepihak. Misalnya saja, perempuan sejak kecil biberikan model-model mainan yang menggambarkan bahwa perempuan itu mesti dirumah, mengurus rumah, membersihkan rumah, mencuci dan sebagainya serta jarang keluar rumah, hal-hal seperti hanya seolah menjadi tugas kaum perempuan, sama sekali bukan sebagai tugas dari kaum laki-laki. Akibatnya sluruh pekerjaan rumah seolah hanya dibebankan dan menjadi tanggung jawab perempuan, bukan laki-laki. Dari sini saja sudah ada pembatasan bagi perempuan pada hakekatnya. Sedangkan laki-laki itu sedari kecil saja mainannya sudah mainan yang menunjukkan mobilitas, bekerja dan keluar rumah itu adalah tugas dan tanggung jawab utamanya, seolah demikian.
Pikiran perempuan seperti dicetak oleh lingkungan keluarga dan masyarakatnya sebagai pelayan yang setia pada laki-laki. Para perempuan bertugas untuk melayani laki-laki, tidak ada aturan sebaliknya. Sama sekali belum pernah ada. Laki-laki disini jelas menjadi pihak yang cukup diuntungkan dengan adanya sistem budaya patriarki tersebut, paling tidak dari soal “melayani” seperti itu pihak laki-laki tak pernah menjadi pelayannya, hanya kaum perempuan disana, yang menjadi kecil, tidak berkuasa dan lemah. Karena seolah “pelayan”, maka tidaklah mungkin seorang pelayan mendapatkan posisi yang tinggi apalagi menjadi seorang Pemimpin.
Kebebasan untuk mengikuti kehendaknya sendiri juga sulit bagi para perempuan. Perempuan itu seperti terhimpit oleh sistem yang sudah mendarah daging, sulit untuk menjadi beda dan keluar dari mata rantai budaya yang rumit dan panjang tersebut. Kebebasan kaum perempuan dalam menentukan sikap dalam budaya patriarki itu tidak ada, hal itu hilang dan tidak pernah ada. Segala sesuatu yang memutuskan adalah pihak laki-laki, kehendak laki-lakilah yang menjadi patokan dan yang harus berjalan dengan lancar sehingga dapat dilaksanakan dengan baik oleh semua pihak. Kehendak perempuan seolah tak penting dan tak perlu untuk didengar. Padahal kebebasan untuk berpendapat dilindungi oleh Undang-Undang Dasar 1945. Dalam pasal 28 diatur mengenai kebebasan setiap orang untuk berpendapat, apa ini hanya untuk laki-laki? Jelas tidak. Perempuan pun memiliki hak yang sama dengan laki-laki untuk bebas berkehendak.
Pada bidang ekonomi, ambil saja contoh pada masyarakat patriarki seperti di Indonesia, misalnya maslah pekerjaan. Perempuan dan laki-laki itu seperti dibagi-bagi, ada bidang pekerjaan yang berbeda-beda bagi keduanya. Ada pekerjaan-pekerjaan yang dianggap hanya cocok untuk laki-laki dan ada sebagian lagi pekerjaan yang dianggap hanya cocok bila dikerjakan oleh kaum perempuan. Yang dianggap lebih lemah dan tidak perlu bekerja diluar rumah adalah kaum perempuan. Kaum perempuan dianggap tidak butuh bekerja dan juga tak butuh pengembangan bagi pribadinya. Itu tidak benar! Perempuan juga butuh bekerja bila itu memang dari kehendaknya, ataupun memilih menjadi ibu rumah tangga, itu juga haknya, jika ingin mengembangkan dirinya juga tidak salah dan malah bagus itu karena setiap orang seharusnya terus belajar sampai akhir hidupnya. Sesungguhnya banyak sekali pekerjaan yang dapat dilakukan, baik oleh perempuan maupun laki-laki. Bekerja bukan soal kelamin. Bekerja itu bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup seseorang, jadi tiap orang berhak mendapatkan pekerjaan yang layak.
Pembagian persyaratan pekerjaan ini untuk laki-laki, pekerjaa itu untuk perempuan, semestinya ditiadakan, hal tersebut tak perlu dilakukan. Sebut saja pekerjaan seperti sekretaris ataupun bendahara, anggapan umum masyarakat kita pekerjaan-pekerjaan itu pantasnya ya dikerjakan oleh kaum perempuan, bukan pekerjaan untuk laki-laki, padahal didalam praktek saat ini sudah banyak laki-laki yang menempati posisi tersebut dan sukses dalam menjalankan tugasnya dengan baik. Atau ambil contoh pekerjaan yang lain seperi sopir angkutan umum atau tukang ojek, kebiasaannya, dalam masyarakat kita, pekerjaan-pekerjaan tersebut hanya dilakukan oleh kaum laki-laki, namun kenyataannya saat ini terutama di kota-kota besar, pekerjaan seperti sopir angkutan umum dan ojek juga dilakukan oleh kaum perempuan. Contohnya di Jakarta, sopir busway juga ada yang perempuan, tukang ojek pun demikian, sudah ada perempuan yang melakukan pekerjaan tersebut dengan sama baiknya.
Manusia itu, antara laki-lakidan perempuan adalah setara, dalam arti dalam hak dan kewajibannya, setara itu bukan berarti harus sama tetapi berarti seimbang. Tidak ada satu mendominasi yang lain. “Adil atau setara itu bisa ditunjukkan dengan apakah telah ada pembagian akses maupun kontrol yang adil terhadap sumber daya, baik sumber daya ekonomi, sosial, politik maupun hukm. Contohnya bila ada pembangunan, maka sejauh mana perempuan menikmati hasil-hasil dari pembangunan tersebut, sejauh mana perempuan terjamin hak-haknya untuk menikmatiapa yang disebut pembangunan untuk kesejahteraannya ataupun masyarakatnya. Apakah jika semisal ia mengalami sebuah ketidak adilan bisa mendapatkan cukup keadilan untuk Masalahnya” (sumber: Solidaritas Perempuan). Ketidak adilan proses hukumjuga merupakan salah satu masalah yang pelik bagi perempuan jaman sekarang.
Contoh konkrit mengenai ketidak adilan negara terhadap perempuan tertuang dalam Undang-Undang Perkawinan no.1 tahun 1974, di dalam undang-undang tersebut pkaum perempuan kehilangan haknya untuk menjadi kepala keluarga karena peran kepala keluarga tersebut dalam undang-undang itu ditentukan secara mutlak hanya hak dari kaum laki-laki, tidak untuk perempuan. Misalkan saja jika seorang laki-laki menikah dengan seorang wanita berkewarganegaraan asing, maka ia dapat menjadi penjamin istri tersebut untuk tinggal atau menetap di Indonesia serta dapat menjadi pemjamin istrinya tersebut untuk bekerja di Indonesia, dan tidak sebaliknya. Perepuan yang menikah dengnan laki-laki berkewarganegaraan asing tidak bisa menjadi penjamin suaminya karena tidak memiliki hak untuk itu. Padahal semestinya keduanya, baik laki-laki maupun perempuan sam-sama memperoleh hak yang sama bukan.
Masalah lain yang kerap kali terjadi adalah trafficking. Perempuan dan perempuan di bawah umur diperjualbelikan didunia internasional, biasanya selalu menghubungkan antara sindikat nasional dan juga sindikat Internasional. Perempuan-perempuan itu umumnya pada awalnya tidak menyangka akan dijual, karena biasanya para sindikat penjualan perempuan tersebut memberikan pengumuman untuk lowongan kerja di luar negeri, dengan iming-iming gaji besar, biasanya mereka menjadi tertarik dan akhirnya masuk perangakap sindikat trafficking.
Untuk masalah lain misalnya di bidang politik dan pemerintahan, di Indonesia kuota 30% di DPR untuk para perempuantersebut belum cukup untuk mengakomodasi berbagai masalah rumit kaum perempuan. Karena tetap saja masih terjadi dominasi laki-laki disana, yakni 70% pemgambil kebijakan adalah kaum laki-laki. Pemikiran yang diolah dan dilaksanakan itu mayoritas bersal dari otak laki-laki, bukan seimbang dari laki-laki dan perempuan. Perempuan hanya sebagai kaum minorotas di DPR, tetap saja budaya patriarki hidup dengn lenggangnya disana.
Di dunia Internasional, telah ada konferensi yang menyatakan bahwa “tidak boleh ada dominasi 70% lebih satu jenis kelamin di dalam parlemen. Untuk laki-laki dan perempuan. Jika perempuan lebih dari 70% pun akan mengalami keadaan yang tidak bagus”(sumber: LBH APIK)
“Realitasnya di DPR, yang sering terjadi, yang sering bolos juga laki-laki. Bahkan ada seorang anggota DPR perempuan yang bernama Ibu Tiur, dia itu sudah tua dan sudah lemah sekali sampai-sampai harus duduk diatas kursi roda, namun tidak pernahabsen saat rapat”(LBH APIK). Hal tersebut bisa dijadikan contoh bahwa perempuan pun mampu bersikap professional dalam bekerja dan memiliki tanggung jawab yang tinggi atas pekerjaannya. Yang lemah itu sebenarnya bukan Cuma perempuan, namun laki-laki juga ada yang lemah ada yang kuat, sebab setiap orang tidak mungkin selamnya stabil, baik fisik maupun psikisnya.
Persoalan menstruasi pada perempuan sering dianggap sebagai faktorsulitnya berkonsentrasi dan berpikir dengan jernih saat sedang menstruasi, padahal tidak semua perempuan mengalami susah konsentrasi ketika masa menstruasi. Ketidakstabilan yang mungkin terjadi itu juga tidak semata-mata hanya dimiliki perempuan, laki-laki juga hampir tidak akan pernah berada dalam kondisi fisik sekaligus psikis yang benar-benar prima bukan. Begitulah manusia, tidak ada yang memiliki kesempuranaan, bukan Cuma laki-laki tetapi juga perempuan. Jika hal seperti ini terus menerus dianggap sebagai kelemahan perempuan, artinya ketidak adilan terjadi disini.
Masalah perempuan di dalam rumah tangga seperti kekerasan cukup banyak terjadi di masyarakat kita, perempuan menjadi korban karena ia dianggap lemah, berbeda dengan laki-laki yang selalu dianggap lebih kuat dan berada di atas perempuan dalam segala hal. Dalam masyarakat kita seorang suami memukul istrinya akan dianggap wajar-wajar saja, bukan sebuah maslah besar. Parahnya lagi banyak perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga merasa dirinya bukan korban, karena kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya adalah lumrah dan sudah sepantasnya. Juga bahwa perempuan itu masih banyak yang beranggapan bahwa masalah dalam rumah tangga itu tidak boleh dibawa keluar, tidak boleh dibicarakan dengan orang lain, apalagi untuk dilaporkan kepada pihak yang berwajib. Masih dianggap tabu dan tidak pantas.

Sulitnya mendapatkan bantuan hukum bagi perempuan……

Ketika masalah-masalah mulai muncul, apalagi itu semua berhubungan dengan perkara hukum, tentunya para pihak akan membutuhkan bantuan hukum bagi maslah-maslahnya, termasuk juga perempuan, ia butuh bantuan hukum untuk menyelesaikan masalah-maslah hukum yang sedang dihadapinya. Namun pada kenyataannya sampai sekarang ini akses perempuan untuk mendapatkan keadilan di bidang hukum dengan mendapatkan bantuan hukum adalah cukup sulit dan sangat minim, hal ini disebabkan terutama oleh konstruksi social masayarakat kita sendiri.
Budaya patriarki menjadi dominant dan punya andil besar dalam menciptakan diskriminasi terhadap perempuan, apalagi yang mengalami masalah kekerasan dalam rumah tangga. Misalnya, apabila perempuan yang jelas-jelas mengalami penyiksaan fisik dan mungkin juga dengan psikisnya karena kekerasan yang dilakukan oleh suaminya sendiri, akan melaporkan kejadian tersebut malah dianggap membuka aib keluarga ataupun aib rumah tangganya sendiri. Padahal seharusnya tidak ada pemikiran seperti itu, sebab anggapan yang demikian ini jelas akan menimbulkan distorsi pada peran perempuan di dalam rumah tangga.
Perempuan yang telah bersuami dianggap memiliki kewajiban penuh untuk melayani suaminya tanpa celah, mengabdi pun bisa sangat cocok digunakan disini. Anggapan-anggapan sepeti itu telah mendarah daging dan sangat sulit untuk berubah ke arah yang lebih berpihak terhadap perempuan, sehingga terjadi kesimbangan dalam hubungan suami dan istri, antara laki-laki dan peempuan. Hingga pada akhirnya peempuan yang telah memiliki keinginan untuk melaporkan perbuatan suaminya yang sudah kelewat batas alias telah menggunakan kekerasan sebagai cara untuk berumah tangga, menjadi takut pada anggapan masyarakat, juga ada yang sampai depresi berat karena memendam luka fisik dan psikis begitu lama sendirian, tanpa ada seorang pun yang tau. Banyak yang punya keinginan untuk meningggalkan rumah, tapi tak bisa, ada yang ingin menyelesaikan maslahnya ke jalur hukumpun sangat sulit.
Akses perempuan terhadap ekonomi dan pendidikan juga sulit sebab terjadi ketergantungan anak-anak dan para istri terhadap bapaknya atau suaminya, ketergantungan ini menyebabkan banyak sekali hal yang tak bisa dilakukan perempuan karena merasa tidak memiliki cukup kekuasaan untuk memilih atau mengikuti kehendaknya sendiri. Pada system patriarki, seorang laki-laki harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya beserta keluarganya, sedangkan di pihak lain perempuan sebagai istri berlaku sebagai seolah penjaga rumah yang baik, melakukan pelayanan terbaik terhadap suami dan akan mengurus rumah dari pagi hingga pagi lagi, begitulah seterusnya. Ini menyebabkan ketergantungan yang sulit untuk dihapuskan. Padahal jika yang bekerja adlah istri tentu saja sebenarnya ini bukanlah sebuah masalah besar, tapi kenyataannya perempuan dianggap cukup hanya hidup untuk melayani laki-laki ataupun suaminya. Ketergantungan secara ekonomi dan social menyebabkan perempuan sulit untuk terlepas dari maslah-maslah kekerasan dalam rumah tangga karena seperti sebuah mata rantai yang panjang dan sulit untuk diputuskan. Ini juga menambah satu kesulitan lagi bagi perempuan untuk mendapatkan bantuan hukum atas masalahnya.
“Jadi bila kita lihat kekerasan itu seperti siklus, selalu terjadi berulang. Akhirnya akan menciptakan kesulitan untuk memutuskan siklus tersebut karena bila perempuan menginginkan memutus siklus kekerasan tersebut maka ia haru terlebih dahulu memutuskan ketergantungannya terhadap suaminya.”(sumber: LBH APIK)
Pada kasus TKW misalnya, juga terjadi kesulitan yang sangat besarjika para TKW tersebut mengalami masalah ditempat kerjanya yang notabene adalah Negara asing yang pastinya memiliki hukum yang berbeda juga dengan Indonesia. Perlindungan dan bantuan hukum terhadap TKW sangatlah minim hingga hari ini, banyak TKW yang pulang tanpa gaji dan mengalami luka fisik dan siksaan psikis akibat perbuatan dari san majikannya di luar negeri. Banyak sekali TKW yang tidak didampingi penasehat hukum, bantuan hukum sepertinya memang tidak berpihak pada TKW, hanya sedikit sekali yang ter-ekspose masalahnya ditangani oleh KBRI. Lebih banyak yang tidak diurus dan dibiarkan begitu saja.
Sulitnya mendapatkan bantuan hukum bagi perempuan seharusnya sesegera mungkin diselesaikan oleh pemerintah Indonesia supaya bisa segera para perempuan Indonesia terbebas dari kekerasan dan diskriminasi di segala bidang.
Semestinya bantuan hukum atas rakyatnya itu dilakukan oleh pemerintah, namun pada kenyataannya pemerintah seperti angkat tangan pada sebagian besar masalah-masalah yang tengah dihadapi rakyatnya.
(Balgis-o6)