Bantuan hukum oleh Siapa?

.
Aini Amnia Majda - Pimp. Umum LPM ManifesT 2008-2009

“...si miskin bahkan tidak menyadari dan tidak tahu bahwa mereka mempunyai hak dan kewajiban hukum. Jangankan lagi untuk tahu bagaimana mencari upaya hukum, bahkan mereka yang tahu pun, umumnya tidak mempunyai keberanian moral untuk mempergunakannya,...Dalam kondisi demikian nyatalah bahwa hal pertama yang harus dilakukan adalah memperkenalkan dan memberitahukan kepada mereka bahwa mereka mempunyai hak yang dilindungi oleh hukum. Bersamaan dengan itu memberitahu rakyat bahwa bantuan hukum sebagai sebuah lembaga hukum itu ada, yang dapat mereka pakai untuk membela dan menuntut hak-haknya.”
(Adnan Buyung Nasution- First International Colloquiumon Legal Aid and Legal Service)

Pertanyaan sekaligus judul diatas dapat dijawab dengan implementasi kewajiban negara dalam menjamin hak-hak warga negara, khususnya yang tidak mampu dalam menghadapi masalah hukum yang dapat mengganggu kesejahteraan hidupnya. Artinya, pemberian bantuan hukum oleh negara merupakan hal yang pokok dan sangat mendasar untuk mencapai keadilan sosial. Kewajiban negara juga memenuhi kebutuhan akan dana dalam pelaksanaan bantuan hukum tersebut. Merujuk pada UU Pengelolaan Keuangan Negara, Negara berkewajiban untuk menyediakan dana dengan menyisihkan dana dari APBN maupun APBD untuk melaksanakan bantuan hukum ini. Bahkan besaran 0,5% dari APBN dan APBD merupakan batas minimal yang harus diadakan untuk bantuan hukum setiap tahunnya.
Alokasi dana sebesar 0,5% ini terkait dengan jumlah kasus yang terjadi setiap tahunnya. Dulu, pemerintah hanya mengalokasi anggaran sebesar Rp.100.000 hingga Rp.250.000,- per kasus dengan pembatasan kasus, namun seiring berjalannya waktu tentu angka tersebut tidak mampu lagi mencukupi kebutuhan transportasi dan biaya-biaya lainnya. Oleh sebab itu, peningkatan anggaran penanganan kasus pada saat ini harus dilakukan minimal menjadi Rp.2.500.000,-. Jika jumlah perkara di pengadilan mencapai ratusan ribu pertahun diseluruh Indonesia maka 0,5 persen dari APBN atau APBD paling tidak merupakan perbaikan dari yang sebelumnya. Komposisi yang digunakan dari alokasi ini sebesar 60% untuk besar perkara yang ada dan 40% sisanya untuk pembiayaan instrument yang melakukan bantuan hukum.
Beberapa instrument atau sarana dan perangkat hukum yang adil terdiri dari beberapa jenis. Jenis pertama, organisasi yang tujuan kerjanya lebih pada terbangunnya kesadaran warga lebih pada kewajiban hukumnya, daripada hak-haknya. Organisasi yang termasuk jenis ini adalah organisasi pemerintah atau organisasi lain yang bekerja untuk pemerintah. Jenis kedua ialah NGO yang tujuannya membangun kesadaran hukum lebih pada hak-haknya. Jenis ketiga, lembaga-lembaga nasional independen, misalnya KOMNAS HAM, Komisi Ombudsman, dll.
Yang tidak kalah penting dari ketiga instrument tersebut ialah profesi advokad. Advokat menjadi salah satu fokus penting dalam berbagai diskusi tentang advokasi dan bantuan hukum, tidak semata-mata karena advokat dilekati dengan kewajiban untuk memberikan bantuan hukum, seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13/2003 tentang Advokat, namun juga karena kedudukannya sebagai kaum profesional hukum yang mempunyai ‘kewajiban sejarah’ untuk meneruskan tradisi suci sebagai pejuang hukum dan keadilan.
Ketua Dewan Pembina YLBHI, Adnan Buyung Nasution pernah bertutur bahwa pada jaman dahulu, advokat (yang biasa disebuat sebagai preator) dalam menjalankan pekerjaannya membela menggunakan baju toga, yang dijaman Romawi tidak memiliki kantung di kanan kirinya, melainkan sebuah kantung besar dibelakang punggungnya sehingga advokat tidak mampu melihat apa yang berada didalamnya. Di kantung besar itulah, masyarakat memberikan penghormatan dan ‘imbalan’ atas kerja advokat sehingga kantung itu terasa berat. Bagi mereka yang merasa terbantu dan simpati olehnya, akan memasukkan kepingan uang logam, namun seringpula kantung dibelakang toga itu terasa berat, karena berisi batu-batu didalamnya! Dan advokat yang seutuhnya, akan tetap menjalankan tugasnya dengan gagah berani, walaupun batu-batu yang menjadi imbalannya.
Bahkan, Berbagai literatur menyebutkan bahwa gagasan bantuan hukum di Indonesia berawal dari kebulatan tekad pada advokat yang (waktu itu) bergabung dalam PERADIN untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada masyarakat, yang terutama dimulai oleh Adnan Buyung Nasution sepulangnya dari menempuh pendidikan di Australia. Usulan ini dikemukakan secara resmi dalam Kongres PERADIN pada tahun 1969, dan akhirnya, pada tanggal 28 Oktober 1960, PERADIN mengeluarkan SK No. 001/Kep/DPP/X/1970 dan berdirilah LBH Jakarta sebagai pilot project PERADIN untuk memberikan layanan bantuan hukum. Kemunculan LBH Jakarta pada akhirnya melahirkan LBH-LBH ditempat yang lain.
Sikap anggota PERADIN yang menerima gagasan bantuan hukum tersebut mudah dimengerti karena sebagian besar anggota PERADIN tidak semata-mata profesional hukum, namun juga para aktivis rakyat yang mempunyai visi politik kuat. Hal ini semakin terlihat pada tahun 1977 di Jogjakarta ketika Kongres PERADIN menegaskan eksistensinya tidak semata-mata sebagai organisasi semata, namun juga sebagai organisasi perjuangan.
Studi yang dilakukan oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan di Jakarta, Surabaya, Medan, Makassar dan Samarinda menunjukkan bahwa praktek bantuan hukum senyatanya telah dijalankan oleh para advokat. 82,9 % responden menyatakan pernah memberikan bantuan hukum, sedangkan 17,2 % menyatakan diri belum pernah memberikan bantuan hukum.
Namun demikian, PSHK dalam studi tersebut juga mencatat tingginya jumlah advokat yang telah terlibat dalam kegiatan bantuan hukum tersebut tidak secara serta merta menunjukkan bahwa bantuan hukum telah berjalan dengan baik, karena sebagian besar advokat belum mendasarkan kegiatan bantuan hukum yang dilakukannya pada upaya penciptaan fair trial, namun lebih banyak dilakukan karena pertimbangan kemanusiaan yang seringkali bersifat ‘sekali selesai’, tidak terprogram dan umumnya tidak membidik tujuan besar tertentu, seperti misalnya supremasi hukum dan keadilan sosial.
Yang juga menarik dari studi tersebut adalah para pencari keadilan merasa masih kesulitan untuk mencari dan mendapatkan bantuan hukum. Hanya 23,5 % yang mengaku menggunakan bantuan hukum, sementara 76,5 % tidak. Namun demikian, hanya 34 % total responden yang mengetahui bahwa advokat mempunyai tanggungjawab untuk memberikan bantuan hukum.
Sementara, LBH Surabaya dalam Laporan Hak Asasi Manusia Akhir Tahun 2006 memaparkan bahwa sepanjang bulan Januari s/d Nopember 2006, telah menerima tidak kurang dari 305 pengaduan, yang sebagian besar dilakukan oleh buruh (40,26 %) dan mereka yang tidak bekerja (30,03 %). Yang sebagian besar (43,17 %) diantaranya berpenghasilan 500 ribu s/d 1 juta per bulan.
Undang-undang Advokat mensyaratkan, yang dapat menyampaikan bantuan hukum itu hanya advokat. Kemudian muncul pertanyaan Apakah Undang-undang Advokat ini membatasi pemberian Bantuan Hukum karena Bantuan Hukum itu dalam Undang – Undang Advokat hanya dimonopoli oleh orang yang mempunyai lisensi “Advokat “ padahal tidak semua advokat bersedia meberikan bantuan hukum. Tidak semua advokat mau memberikan bantuan hukum cuma-cuma, memang di Undang-undang Advokat ada ketentuan bahwa advokat wajib memberikan bantuan hukum. Tetapi hal tersebut hanya menjadi syarat yang dapat dilakukan 1 kali dalam 1 hingga 10 tahun.
Bahkan tidak memberikan sama sekali juga tidak masalah, tidak pernah ada sanksi bagi para advokad apabila mereka tidak memberikan bantuan hukum. Di LBH Surabaya, dari sekian kasus pengaduan yang masuk, sebagian justru merupakan rujukan dari advokat lain. Berarti banyak advokat yang tidak mau memberikan bantuan hukum. Padahal bantuan hukum menurut Undang-undang Advokat itu hanya bisa diberikan oleh Advokat. LBH cenderung menjadi tempat pembuangan klien yang dianggap tidak layak secara materi oleh kantor-kantor advokad. Padahal para advokad tersebut juga mempunyai kewajiban untuk menanganinya. Hal itu tidaklah adil. Permaslahan inilah yang kemudian menjadi alasan mengapa YLBHI mengusulkan ada Undang-undang Bantuan Hukum. Karena Bantuan Hukum sebetulnya bisa diberikan oleh siapapun karena bantuan hukum merupakan hak Asasi, maka sebenarnya negara mempunyai kewajiban untuk memenuhi hak itu. Bila negara tidak mapu memenuhi kewajiban itu, setidaknya Negara tidak menghalang – halangi orang yang ingin memberikan bantuan hukum seperti dalam UU Advokad.
Mengutip Artikel Clare Dyer, Di Inggris, Sejumlah advokad berpengalaman mulai meninggalkan tugas memberikan bantuan hukum menyusul kekhawatiran pendapatan mereka akan turun secara drastis. Gejala yang paling nyata terjadi pada para advokad yang menangani kasus-kasus anak dan orang tua. Kerap kali kasus-kasus semacam itu menghadapi fase pembuktian yang yang sulit, yang berkaitan dengan bukti-bukti medis yang dapat diperdebatkan.
Artikel Dyre ini mendapat tanggapan dari Menteri Muda di Kementerian Kehakiman Muda di InggrisPhilip Hunt. Artikel Hunt yang dimuat The Guardian ini menyatakan tidak ada krisis dan artikel Dyre terlalu berlebihan dan pesimistis. Hasil survey yang dikutip dari asosiasi advokad untuk anak, hanya merujuk pada 17 advokad individual yang memang akan meninggalkan dan memang berkeinginan untuk meninggalkan profesinya. Hal ini tidaklah sebanding dengan sekitar 2700 organisasi yang menyediakan bantuan hukum bagi kasus-kasus keluarga di seoantero inggris dan wales.
Bantuan hukum merupakan sektor pelayanan publik yang vital. Sebagai Menteri Muda Bantuan Hukum, Hunt melihat program bantuan hukum telah membuat jutaan orang terbantu dalam menyelesaikan permasalahan domestic rumah tangga, utang dan sejenisnya. Itulah mengapa sistem hukum di Inggris adalah yang terbaik di dunia dalam hal penganggaran. Pada waktu yang bersamaan, para pembayar pajak dan lien bantuan hukum memiliki hak untuk mendapatkan bantuan hukum. Pemerintah menyadari ini, maka secara konkrit pemerintah membantu orang sebanyak mungkin yang mereka bisa, seefektif mungkin.
Di Indonesia sendiri ongkos pelayanan hukum sangatlah mahal. Biaya perkara bukan hanya mahal bagi orang-orang yang tidak mampu atau marginal, bagi orang-orang yang terkait dengan persidangan yang bukan pihak berperkara pun biaya ini dirasakan sangat mahal. Salah satu upaya untuk mencapai keadilan, pemerintah menyediakan bantuan hukum melalui program legal aid. Legal aid ini, seperti yang telah diuraikan penulis, tidak dilakukan oleh pemerintah sendiri, tetapi melalui masyarakat atau lembaga-lembaga pendidikan hukum negeri atau swasta dalam wadah lembaga bantuan hukum (LBH) atau nama lain dengan maksud yang sama. Namun tidak dapat dipungkiri LBH pun mengalami persoalan tersendiri menyangkut pembiayaan bantuan hukum kepada masyarakat ditambah lagi dengan LBH yang saat ini masih berdiri dengan bantuan founding dan menolak pembiayaan dari pemerintah yang syarat kepentingan.
Kesulitan masyarakat, terutama masyarakat marjinal menghadapi kekuasaan dan menghadapi sistem birokrasi yang tidak berpihak kepada mereka, serta berbagai bentuk eksploitasi sebenarnya tidak selalu berujung di pengadilan. Sedangkan peristiwa tersebut juga berkaitan dengan akses keadilan.Karena itu akses terhadap keadilan tidak semestinya dibatasi dalam proses peradilan seperti yang tercantum dalam UU Advokad.
Tanpa bantuan, tidak mungkin masyarakat, terutama masyarakat marjinal akan memperoleh akses keadilan yang lebih baik menghadapi kekuasaan, birokrasi, dan aneka ragam eksploitasi yang dalam banyak hal, tidak berpihak kepada mereka.
Oleh karena itu adanya instrument perundang-undangan maupun instrument pranata/lembaga yang pro kepada semangat bantuan hukum sangat diperlukan. Selain secara praktis mendampingi masyarakat menghadapi persoalan-persoalan yang mereka hadapi, LBH, advokad juga disertai berbagai kekuatan lain secara konseptual mendorong penguatan berbagai pranata, seperti membentuk pengadilan atau peradilan sederhana, pengembangan ombudsman, dan lain lain pranata yang akan memperluas akses keadilan utnuk seluruh masyarakat terutama masyarakat marjinal, dengan ditunjang dengan perbaikan kebijakan atau perundang-undangan yang berlaku. (Mia-06)