Perempuan dalam Payung Hukum Kita

.
Perempuan dalam Payung Hukum Kita


Ketika persoalan perempuan sudah menjadi persoalan semua orang.
Ketika korban tidak malu dan takut meneriakkan hak-haknya
Dan ketika semua orang lebih proposional dengan tidak menghukum perempuan
Maka saat itulah kita berhak tersenyum atas perjuangan kita.
(Muji Kartika Rahayu-Aktivis perempuan)


Perkembangan Politik dan hukum di negara kita dalam 5 tahun belakangan ini dapat dianggap luar biasa bagi perempuan. Pencapaian terbesar ialah ketika UU Pemilu No.12 Tahun 2003 mencantumkan pesan bahwa partai politik sebaiknya membuka kesempatan bagi perempuan agar menjadi calon Legislatif setidaknya dalam jumlah 30 persen.UU ini kemudian diganti dengan UU Pemilu yang baru dengan konsep keterwakian yang sama. Peningkatan keterwakilan perempuan ini juga didukung oleh UU Penyelenggara Pemilu No.22 Tahun 2007. UU ini mengamanatkan keterwakilan perempuan dalam lembaga penyelenggara pemilu dalam berbagai tingkatan pemerintahan. Memang masih terlalu dini untuk mengatakan bahwa pencantuman ini akan menjadi jaminan bagi politik yang berkeadilan gender, namun tak dapat dipungkiri gemenya telah memberikan banyak inspirasi bagi perempuan diseluruh pelosok nusantara yang selama ini giat berpolitik.
Keterwakilan Perempuan di ruang public memang sedikit banyak telah mengalami kemajuan. Namun itu hanya kemajuan dalam hak berpolitik saja, bagi perempuan-perempuan yang dianggap layak untuk duduk di kursi legislative. Bagaimana dengan perempuan lainnya? apa yang mereka nikmati dari produk UU kita? Para feminis menyakini bahwa hukum tidak lahir dari sebuah ruang hampa. Hukum adalah hasil pergulatan kepentingan dan mencerminkan standar nilai dan idiologi yang dianut masyarakat dan kekuasaan dalam proses pembuatannya. Katherine Barlett dalam artikelanya Feminist Legal method mengatakan bahwa ,” dalam hukum mempersoalkan perempuan berarti menguji apakah hukum telah gagal memperhitungkan pengalaman, dan apakah konsep hukum itu telah merugikan perempuan. Permasalahan tersebut mengasumsikan bahwa hukum bukan saja tidak netral dalam pengertiannya yang umum tetapi juga sangat laki-laki dalam pengertiannya yang spesifik.
Bagi para feminist doing law pada dasarnya berarti mengidentifikasi implikasi gender terhadap peraturan peraturan yang mendasarinya serta menuntut penerapan peraturan-peraturan tersebut supaya tidak lagi melanggengkan subordinasi perempuan. Perjuangan memperjuangkan payung hukum bagi perampuan ini mulai memanas sejak adanya Prolegnas (Program legislasi nasional). Prolegnas lahir sebagai anak Propenas atau Program Pembangunan nasional. Penyelenggaraan Propenas tersebut merupakan amanat dari garis-garis besar haluan negara (GBHN) Tahun 1999-2004
Prolegnas merupakan penjabaran lebih lanjut program pemerintahan di bidang hukum, khususnya legislasi. Prolegnas ditegaskan dalam UU Pembentukan Peraturan perundang-undangan pasal 15 yang menyatakan bahwa ,”Perencanaan penyusunan undang- undang dilaukan dalam suatu Program Legislasi Nasional”. Prolegnas yang bentuknya berupa daftar kebutuhan UU, menjadi pedoman baik bagi DPR maupun Pemerintah dalam menyusun dan memprioritaskan RUU dalam 5 tahun kedepan.
Melihat keseluruhan daaftar rancangan perundang-undangan yang masuk dalam prolegnas, jelas ada banyak RUU yang bersinggungan dan menentukan nasib perempuan. Berdasarkan Prolegnas 2005-2009, tujuh RUU yang berkaitan dengan perempuan adalah jumlah yang tidak sedik dan memerlukan energi yang luar biasa. Berikut adalah beberap isu penting yang menjadi dasar pemikiran dan usulan perubahan dalam RUU yang sampai sekarang diadvokasi oleh kelompok perempuanyang tergabung dalam Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan yang sebagian telah disahkan menjadi UU.

UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

RUU PTPO yang pada 2006 lalu diajukan, akirnya dituangkan dalam UU No.21 Tahun 2007. UU ini oleh sebagian LSM dinilai belum melindungi dan mengakomodir hak anak. Dalam undang-undang tersebut definisi perdagangan anak tidak di masukkan, padahal justru itu yang sangat substantive. UU PTPPO hanya memuat perdagangan orang dengan korban anak, bukan perdagangan anak. Ini bisa dilihat dari definisi perdagangan anak yang secara substantif sangat berbeda dengan perdagangan orang. "Anak memang orang, tapi mereka punya hak-hak khusus dan belum punya kapasitas legal karena masih dibawah umur. UU ini jga tidak memberikan otoritas korban trafiking untuk memilih dan menentukan proses penyelesaian kasus sesuai keinginannya. Misalnya apabila trafiking tersebut terjadi di luar Indonesia, maka seharusnya korban diberikan kebebasan untuk memilih, yakni tinggal di luar negeri hingga kasus tersebut selesai. Demikian pula bagi trafiking yang terjadi pada WNA di Indonesia.



UU Pornografi dan Pornoaksi

Pornografi dalam perspektif kepentingan perempuan harus dilihat sebagai isu kekerasan. Kebutuhan akan aturan mengenai Pornografi sangat besar, banyak kasus-kasus kekerasan terjadi karena akses yang sangat terbuka terhadap produk pornografi., terutama bagi anak-anak. Serta produk-produk pornografi yang mengandung kekerasan dan perendahan martabat perempuan. Dampaknya muncul kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak seperti penyerangan seksual, pelecehan seksual dan perkosaan, Selain itu, permasalahan pornografi

UU Perlindungan Saksi

RUU perlindungan saksi yang termasuk dalam pembahasan sidang III DPR periode 2004-2009 akhirnya disahkan sebagai UU No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan saksi dan Korban. Dalam UU ini, yang dilindungi hanya saksi dalam pengertian orang yang mendengar sendiri, melihat sendiri, dan atau mengalami sendiri(ps.1 ayat 1),serta korban, orang yang menderita fisik, mental dan atau kerugian ekonomi karena tindak pidana(ps,1 ayat 2). Dengan kata lain, pelapor yang tidak secara langsung melihat, mendengar atau mengalami sendiri tidak akan dilindungi dalam UU ini. Kelompok perempuan yang tergabung dalam Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan menganggap UU ini seharusnya juga memperhatikan perlindungan terhadap perempuan dan anak yang tidak hanya diatur dalam UU kekerasan dalam rumah tangga saja. Karena UU Perlindungan Saksi ini sebenarnya sangat berkaitan dengan kekerasan terhadap perempuan. Dalam hal ini perempuan korban kekerasan dan baik dalam kasus kekerasan seksual (perkosaan, perkosaan dalam rumah tangga, dan pelecehan seksual ditempat kerja public maupun rumah tangga) sering mendapatkan penderitaan pada saat melapor. Korban yang melapor akan diberi pertanyaan-pertanyaan yang memojokkan oleh penyidik yang akhirnya menyimpulkan kejadian tersebut adalah kesalahan korban pula.

Amandemen UU Kesehatan

UU kesehatan No.23 Tahun 1992 belum mengatur pelyanan kesehatan reproduksi perempuan dan perlindungan terhadap hak reproduksi perempuan. Hal ini berdampak pada rasio kematian ibu yang masih besar. Perundang-undangan yang ada juga belum melindungi hak reproduksi perempuan misalnya perempuan yang tertular HIV/AIDS karena tertular dari suami atau pasangannya.
Dalam UU No.23/1992 tentang kesehatan, masalah kesehatan perempuan seudah disebut yakni dalam pasal 14 yang berbunyi, ”Kesehatan istri meliputi kesehatan pada masa pra kehamilan, kehamilan, persalinan, pasca persalinan dan masa di luar kehamilan dan persalinan”. Konsep yang sesuai dengan konsep kesehatan reproduksi sudah nampak tetapi pasal ini hanya mengatur kesehatan perempuan setelah ia menikah. Perempuan yang belum menikah, sudah menikah, dan janda tidak tercakup dalam pasa tersebut, terutama karena pasal sebelumnya yakni pasal 12,13 memang menempatkan perempuan sebagai bagian dari keluarga dan disebut isteri. UU ini menempatkan perempuan tidak sebagai individu manusia yang mempunyai hak untuk mencapai tingkat kesehatan yang setinggi-tingginya, yang setara dengan hak warga negara lainnya. Perempuan baru mendapatkan haknya ketika ia sudah menjadi isteri, itupun tidak secara jelas menjamin apakah seorang isteri mempunyai hak atas tubuhnya sendiri dan hak untuk menentukan apakah ia siap hamil atau tidak. Dengan mencantumkan masalah kesehatan perempuan secara khusus dalam UU kesehatan, diharapkan perhatian pemerintah dan masyarakat terhadap hal itu juga lebih baik.

Amandemen UU Perkawinan

Beberapa permasalahan dalam UU Perkawinan No.1 Tahun 1974:
• Melegitimasi subordinasi suami terhadap istri. Tidak ada pengakuan dalam masyarakat bahwa istrilah yang secara nyata menjalankan peran sebagai kepala rumah tangga. Dampaknya ialah pembatasan peluang perempuan terhadap akses sumber daya ekonomi dan social. Subordinasi ini juga mempersulit posisi istri untuk keluar dari lingkaran kekerasan dalam rumah tangga.
• Memberikan batas usia nikah bagi perempuan yang terlalu dini, yaitu 16 tahun. Ini menjadi penyebab tingkat kematian ibu yang tinggi karena berdampak pada kesehatan ibu dan bayi.
• Masih mengakui hak istimewa suami untuk menikahi lebih dari satu perempuan, dimana alasan-alasan yang mendasarinya justru merupakan bentuk penelantaran terhadap istri ( yang sakit berat atau tidak ammpu memberikan keturunan). Ini juga menjadi salah satu penyebab munculnya kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri dan anak-anak.
• Hanya mengakui hubungan keperdataan anak yang lahir diluar perkawinan dengan pihak ibu saja, tidak dengan ayah. Akibatnya hak anak untuk memperoleh pengasuhan dari kedua orang tuanya dan memperoleh warisan serta akta kelahiran tidak terpenuhi.
• Tidak mengatur secara tegas kewajiban suami atau pihak pengadilan untuk memberikan nafkah bagi istri dan anak-anak etelah perceraian
• Hanya mengatur pencatatan perkawinan untuk perkawinan antar agama yang diakui resmi oleh negara, akibatnya posisi istri dan anak menjadi lemah dihadapan hukum.Istri dan anak bisa tidak berhak lagi atas nafkah dan waris setelah perceraian karena akta nikah tidak pernah ada.

RUU KUHP

Substansi KUHP yang berlaku saat ini masih terlalu umum. Belum mengatur aspek pidana, hukum acara, pencegahan, perlindungand dan kompensasi korban yang secara spesifik berlaku terhadap kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Selain itu, mereduksi masalah kekerasan terhadap perempuan sebatas persoalan kesusilaan, sehingga tidak mencakup semua bentuk kekerasan yang dialami perempuan diluar yang dirumuskan. Sederhananya, pendekatan lex generalis RUU pada umumnya ini sudah tidak dapat lagi menjwab kebutuhan masyarakat. Misalnya kriminaisasi Hubunga seksual di luar perkawinan, padahal mereka yang melakukannya suka-sama suka. Filosofi hal ini ialah perbuatan tersebut merupakan perbuatan maksiat sehingga harus dipidana. Kriminalisasi ini merupakan crimes without victims yakni bentuk kriminalisasi tanpa adanya korban. Atau kriminalisasi prostitusi jalanan, yang dimuat dalam pasal 488 RUU KUHP. Semangat dari pasal ini tidak jauh berbeda dengan perda-perda anti pelacuran dan perbuatan maksiat yang dalam implementasinya merugikan perempuan. Perempuan harus membatasi gerak-gerik, cara busana dan kemana perginya pada malam hari hanya agar terhindar dari anggapan bahwa mereka pelacur. Untuk memperbaikinya dibutuhnkan pendekatan lex specialis atau yang lebih spesifik.
Kenyataan bahwa “rasa susila masyarakat” akan bergeser tidak dapat dicegah. Ciuman bibir yang dulu dianggap tabu, namun sekarang telah dianggap sebagai ekspresi cinta yang sangat manusiawi. Begitupun tarian erotis yang mempunyai sejarah tersendiri dalam negeri ini yang sangat berlebihan bila hal itu kemudian dikriminalkan. Selain itu perkembangan wacana HAM yang menjamin kebebasan pers dan ekspresi individu sebagai hak asasinya juga turut mempengaruhi pergeseran nilai-nilai dalam masyarakat yang semakin menghargai pilihan-pilihan individu dalam berekspresi.
Hal ini sesuai dengan Konferensi Dunia di Kairo tentang Kependudukan (ICPD)- 1994. Pemerintah Indonesia turut menandatangani hasilnya, telah menyepakati untuk mewujudkan hak-hak seksual dan kesehatan reproduksi setiap individu. Dalam paragraph 7.2,ICPD menekankan hak-hak dari individu terhadap “kehidupan seksual yang aman dan memuaskan”(satisfying and safe sex life).Individu mempunyai hak yang sama untuk memilih dan menjalani kehidupan seksualnya dan tentunya tidak patut diancam sebagai pelaku criminal.

UU Kewarganegaraan dan UU Keimigrasian

Seperti kita ketahui UU kewarganegaraan yang lama sangat bersifat diskriminatif terhadap perempuan. UU No.62 Tahun 1958 ini merupakan induk atau rujukan bagi produk hukum terkait dibawahnya, maka semakin terpuruklah nasib perempuan di berbagai produk hukum yang lain tersebut (Misalnya UU Keimigrasian, UU Perkawinan, UU Agraria, UU Ketenagakerjaan)
Salah satu hal yang paling substansial dalam UU yang lama yang diskriminatf ialah kewarganegaraan anak ditentukan oleh asas ius sanguinis, yaitu kewarganegaraan anak mengikuti pihak bapak( ps,1b). Sifatnya yang sangat berfihak pada laki-laki dan mengabaikan perempuan dalam perkawinan sangat mempengaruhi, misalnya dalam UU Keimigrasian, dimana seorang perempuan WNI tidak bisa menjadi penjamin bagi suaminya atau orang asing untuk dapat tinggal di Indonesia. Seorang perempuan WNI juga hanya dapat menjadi pembawa anak-anaknya utuk tinggal di Indonesia apabila mendapat ijin dari suaminya dan sisuami tidak tinggal/bekerja di Indonesia.
Hal-hal yang sangat diskriminatif dalam UU Kewarganegaraan yang lama mengalami perubahan yang cukup progresif pada UU Kewarganegaraan yang baru yakni UU No. 12 Tahun 2006. Salah satu yang paling fenomenal bagi perempuan ialah pasal 4 huruf d dan e yang intinya adalah seorang perempuan WNI dapat memberikan kewarganegaraan Indonesia pada anak-anaknya tidak peduli apakah bapak anak itu WNI, WNA atau tidak berkewarganegaraan atau apakah si ibu terikat perkawinanyang sah atau tidak. Jadi sekarang sejak lahir seorang anak dari seorang perempuan WNI dapat otomatis menjadi WNI. Anak-anak juga dapat memegang kewarganegaraan ganda sampai batas usia 18 atau maksimal 21 tahun.
Namun masih ada beberapa hal yang belum diatur dalam UU baru ini. Diantaranya perlindungan hukum bagi perempuan/isteri WNI yang tinggal di luar negeri. Sebagai WNA di negara suaminya tentu saja perempuan WNI tidak akan cukup mendapatkan perlindungan apabila ia mendapatkan masalah hukum. Mereka yang biasanya hidup dalam keluarga biasa dengan penghasilan tunggal dari suaminya, karena ke-WNI-annya tentu saja membatasi akses kerjanya, menghalanginya untk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya. Dalam kondisi demikian mereka pasti hidup jauh dari hidup berkecukupan.
Parahnya, sudah tidak dilindungi perempuan inipun dapat kehilangan kewarganegaraan Indonesianya dalam UU baru ini. Pasal 26 ayat 1 menyebutkan seorang perempuan yang kawin dengan aki-laki WNA, dan negara suami mengharuskan kewarganegaraan istri ikut suami karena perkawinan itu, akan kehilangan kewarganegaraan indonesianya. Perempuan masih dianggap sebagai pelengkap penderitaan yang harus mengikuti suami. Sehingga, tidak bisa dipugkiri UU ini juga masih menimbulkan beberapa masalah yang secara bertahap harus diperbaiki.

Gambaran diatas merupakan gambaran kurang responsifnya Negara dalam memberikan perlindungan terhadap perempuan. Budaya patriaki yang hidup di di Indonesia membuat perempuan seperti menjadi warga kelas dua, yang dalam berbagai bidang kehidupan tidak lepas dari peranan laki-laki, termasuk dalam hokum. Ketidak adilan yang dialami perempuan di dalam hokum memunculkan banyak lembaga-lembaga yang memberikan akses kepada perempuan untuk mendapatkan keadilan. Lembaga-lembaga tersebut konsen terhadap perempuan karena menganggap perempuan kurang bersentuhan dengan hokum.
Lembaga-lembaga yang memberikan bantuan hokum khusus kepada perempuan seperti LBH APIK, Solodaritas Perempuan, KPI. mereka mencoba mendekatkan akses keadilan kepada perempuan. Peranan lembaga bantuan hokum tersebut, selain memebantu menyelesaikan kasus atau biasa disebut bersifat konvensional, yaitu mendampingi para korban untuk mendapatkan hak-haknya di pengadilan, lembaga bantuan hokum tersebut juga bergerak dalam metode structural dengan merubah substansi hokum yang salah satunya berupa advokasi kebijakan.“ budaya bisa mempengaruhi struktur, struktur kekuasaan bisa mempengaruhi budaya, dengan struktur kekuasaan kita dapat merubah kultur”
Peraturan yang pro terhadap perempuan diharapkan akan mampu mewujudkan keadilan tanpa membedakan jenis yang sekarang ini m,asih didominasi laki-laki. tetapi hal tersebut juga harus dimulai dengan perubahan konstruksi social di dalam masyarakat. Menurut Dewita Hayu Shinta, SP, staf divisi perubahan hokum LBH APIK bahwa perbedan peranan dan fungsi antara laki-laki dan perempuan dipengaruhi oleh budaya dan dikonstruksi oleh social. Contoh dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga, perempuan yang jadi korban tidak merasa telah menjadi korban karena perempuan menganggap bahwa perlakuan terhadap mereka sudah pantas didapat.
Perlakuan perempuan oleh hokum dapat berubah jika sudah terjadi perubahan konstruksi social. Evolusi kebudayaan yang dirintis sejak zaman kartini sampai sekarang ingin merubah kultur yang menganggap perempuan dibawah laki-laki, sehingga jika tersedia akses perempuan untuk mrendapat persaman di hadapan hokum perempuan sudah siap menerimanya.
Melihat asas bahwa setiap warga Negara memiliki kedudukan yang sama di depan hokum sudah satnya negara memberikan akses keadilan keopada perempuan. Bantuan hukumterhadap perempuan menjadi salah satu hal yang dapat dlakukan untuk memberikan perempuan hak-haknya sebagai warga negara yang hidup di negeri ini. (Mia-06)