WAWANCARA ADNAN BUYUNG NASUTION BANTUAN HUKUM STRUKTURAL

.

HASIL WAWANCARA DENGAN ADNAN BUYUNG NASUTION TENTANG BANTUAN HUKUM STRUKTURAL DI INDONESIA


Sejak lahirnya, Lembaga Bantuan Hukum telah berhasil mempopulerkan gagasan dan konsep bantuan hukum kepada masyarakat. Lembaga bantuan hukum tidak hanya berkembang dalam berperkara dalam sidang saja, tetapi juga aksi yang sesuai dengan ruang lingkup LBH yang luas. Selama perkembangannya LBH sering berhadapan dengan para penguasa yang sering membuat kebijakan yang salah. Secara sengaja atau tidak, kepentingan pembelaan perkara menempatkan LBH pada kedudukan yang konfrontatif dengan penguasa.
LBH lebih banyak memberikan waktu dan tenaga untuk upaya proses demokratisasi dimana salah satu tuntutanya adalah mengubah hukum kearah yang lebih responsive kepada kepentingan masyarakat dan bukan lagi alat penguasa. LBH bekerjasama dengan organisasi non-pemerintah lainnya dalam membentuk lembaga-lembaga baru seperti KONTRAS, yang untuk mengurusi masalah kekerasan dan penghilangan orang, ICW (Indonesia Corruption Watch) untuk membongkar kasus korupsi dan KRHN (Konsorsium Reformasi Hukum Nasional) untuk mendorong proses reformasi hukum. Bagaimana pendapat salah satu pendiri LBH sendiri mengenai Bantuan Hukum, berikut ini adalah hasil wawancara manifestor dengan Adnan Buyung Nasution, salah satu pendiri LBH dan pencetus gagasan bantuan hukum struktural di Indonesia.


Red: Ketika ngomong tentang bantuan hukum, yang dahulu diselesaikannya kasus per kasus atau konvensional. Akhirnya, khan ketika tahun 70-an 80-an, Bang Adnan sendiri ngomong tentang Bantuan Hukum Struktural, jadi ngomong penyelesaian kasusnya itu ada kasus yang bersamaan, sehingga penyelesaiannya bukan kasus per kasus lagi, tapi mengambil keterkaitan dari kasus – kasus itu sendiri. Dan kalau tidak salah juga, kemarin kami diskusi, ada metodologi baru dalam bantuan hukum, yaitu Bantuan Hukum secara Informal. Misalnya ada konflik di masyarakat adat, itu diselesaikannya oleh pemuka adat itu sendiri. Jadi ketika bicara tentang bantuan hukum, ada beberapa perbedaan ngomong tentang metode – metode itu tadi.

ABN: Ok, jadi Abang jelaskan supaya kalian cukup paham. Bantuan hukum sebagai istilah, ternyata memang rancu di Indonesia, karena undang–undang sendiri, Undang–undang Pokok Kekuasaan Kehakiman, pengertian bantuan hukum di situ sebenarnya salah. Harusnya pendampingan hukum atau memakai istilah lain juga boleh adalah kuasa hukum. Jadi maksudnya disitu adalah advokat, mendapatkan bantuan hukum dari advokat, atau bahasa Belandanya Rechts Bejstand. Rechts Bejstand inilah yang dimaksud oleh Undang–Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman...pendampingan hukum...bantuan hukum, dalam arti bantuan hukum yang menjadi hak seorang terdakwa dia peroleh dari seorang pengacara atau penasehat hukum. Ini yang harus kita bedakan dengan bantuan hukum legal aid, bahasa belandanya rechts help. Kalau bantuan hukum yang diatas (rechts bejstand) itu profesional, dijalankan oleh profesi advokat, sedangkan yang dibawah (rechts help) oleh para pekerja bantuan hukum, para legal, ataupun lawyer yang mengkhususkan diri untuk orang miskin, atau public interest lawyer, atau Abang sekarang mau kedepankan advokat publik. Jadi ada advokat PERADI, tapi kita advokat publik bisa orang tau bedanya. Nah, dua–duanya itu dicampur-adukkan.
Sekarang yang kedua, bantuan hukum yang kita lakukan ini, atau legal aid, memang harus diakui sebenarnya yang di atas pun memiliki kewajiban luhur, untuk menerima perkara miskin. Akan tetapi, pengalaman di seluruh dunia, termasuk Indonesia sedikit sekali advokat yang mau. Jadi bohong besar kalau PERADI, IKADIN atau AAI mau bikin bantuan hukum, gak usah percaya. Kalaupun ada yang mau, paling satu dua lah, gak bakal signifikan.
Bantuan hukum kita, Abang perkenalkan yang lebih luas. Bantuan hukum yang sempit hanyalah bantuan hukum dalam litigasi. LBH untuk litigasi thok, menerima perkara untuk memberi nasihat hukum, lalu untuk ber-acara, sampai mendampingi di polisi, di kejaksaan, di Pengadilan sampai pada hukuman di penjara. Itu semua bantuan hukum di bidang yustisi, peradilan. Di samping itu ada Bantuan Hukum Struktural, artinya bantuan hukum itu tidak semata–mata di pengadilan bisa juga di luar pengadilan, dalam arti memperkuat bargaining position, peoples empowering itulah sebenarnya eksistensinya. Substansi dari bantuan hukum struktural itu adalah memperkuat, mempekokoh, pemberdayaan masyarakat untuk bisa membela dirinya, memperjuangkan hak – haknya. LBH menjadi pendamping, kasarnya ngomporin lah.
Orang – orang intel, KOPKAMTIB tahu bahwa Bang Buyung ini bahaya pikirannya. Jadi, tau – tau PKI huahahaha (tertawa terbahak – bahak). Sekarang 74, waktu Abang bikin LBH itu masih 35-lah. Jadi 39 tahun yang lalu. Buat Abang menarik memang, hal ini karena didikan orang tua, pelajaran sekolah Fakultas Hukum, pendidikan luar negeri membuat Abang lebih terbuka, lebih luas horizonnya melihat bahwa orang yang perlu dibantu itu bukan orang kaya, the have yang kelas gedongan. Orang–orang di kampung – kampung miskin itu lebih banyak membutuhkan, itu jadi obsesi Abang sejak dulu itu, bagaimana membela rakyat yang banyak ini. Dari mana letak obsesi itu, pada saat Abang Jaksa.

Latar belakangnya, Abang khan Jaksa, ya...sekitar 15 tahun Abang jadi Jaksa, dari umur 22. Humas Kejaksaan Agung bidang politik jabatan terakhirnya. Cuman, gara-gara ngelawan Soekarno, lalu dirumahkan. Jaman Soeharto, masuk ke kejaksaan agung lagi, langsung kepala bagian Humas bidang politik, berantem lagi dengan Jaksa Agung saat itu akhirnya dipecat. Makannya baca autobiografi Abang tu...

Jadi, pada saat Jaksa, Abang menghadapi kenyataan – kenyataan pahit di lapangan. Entah panggilan hati ini, kenapa Abang mau satu – satunya yang mau sidang di kota – kota kecil, sekitar Jakarta. Jaman dahulu, semua masih kota – kota kecil dan belum jadi satu seperti sekarang, di Tanjung Priok, di Tangerang, di Pasar Minggu, di Bekasi, ya...disekelilingnya lah. Itu sidangnya khan di Jakarta. Pada saat itu jakarta hanya punya pengadilan satu, di Jalan Gajah Mada, pengadilan istimewa untuk daerah Jakarta dan sekitarnya. Untuk memudahkan rakyat, lalu diadakanlah sidang – sidang di kantor kabupaten, kecamatan. Hakim dan Jaksa kesana dateng. Disiapkan semua berkas perkaranya kalau datang kita. Saat itu, yang mau cuman Abang nih, yang lain gak ada yang mau karena enak di kota donk daripada ke tempat – tempat kecil begitu. Tapi buat Abang, Alhamdulillah itu menambah dekat hati Abang pada mereka. Sehingga suatu saat Abang bilang, “kalau saya sudah keluar dari kejaksaan saya mau buka kantor bantuan hukum”. Gituuuu...

Nita itu Abang keluarkan setelah kuliah di Australia, tahun 60 tepatnya, 1960 yaaa. Keluar dari sekolah luar negeri, jurusan hukum internasional publik. Nah, Abang di Australia melihat ada lembaga semacam itu namanya Legal Aid. Abang pelajari itu cara mereka kerja, lalu abang baca literatur, bagaimana di Australia, Inggris, di Amerika, bantuan hukum di Kanada, semua... Kemudian abang pikir, ide abang itu bisa, bantuan buat rakyat itu bisa, bukan lamunan, kenyataannya ada. Begitu pulang, Abang lapor dengan Jaksa Agung, sama Menteri Kehakimannya. Lalu mereka bilang “Buyung, itu ide kamu luhur”, yang bilang itu Mr. Martokusumo (Sekjen Menteri Kehakiman RI yang pertama) tapi kamu jangan ngomong sekarang. Kalo kamu ngomong sekarang, nanti kamu ditangkep, sebab itu pikiran liberal, pikiran yang bersumber pada hak asasi manusia. Ini jaman revolusi, kembali pada revolusi, manipol usdek - pada tahun 1960, khan Bung karno baru dekrit – tunggu 10 tahun”. Betul, lalu orde lama jatuh tahun 67 lah, lalu pada tahun 1969 Abang berantem lah dengan Jaksa Agung, langsung dipecat. Setelah dipecat itu Abang pikir, ini kesempatan nih, Abang mau bangun LBH. Satu tahun tuh persiapan, bicara sama Mohtar Lubis, Prof. Soemitro, bicara sama Pak Yap Tham Hiem, semua, segala macem temen – temen. Akhirnya tahun 1970 kita dirikan.

Nah, ada satu hal yang perlu tahu. Satu tahun sebelum abang bikin LBH, abang dirikan kantor sendiri dulu, kantor ini nih, ABNP, dulu namanya ABNA (Adnan Buyung Nasution and Associates). Jadi satu law firm pertama, Abang di Indonesia ini, yang modern. Kenapa? Prof Soemitro bilang “kamu mau bela rakyat, tapi hidupmu bagaimana? Kamu punya istri, anak 2, hidupmu bagaimana ?”. iya..ya..abang mikir. Lalu prof bilang “idealis..idealis, tapi kaki harus ada di bumi donk, jangan mau berjuang muluk – muluk tapi kamu gak punya penghasilan”. Terus saya tanya “gimana donk Om?”, lalu dijawab “udah, buka kantor lawyer”. Jangan kantor advokat yang biasa, buka kantor advokat internasional”. Lalu saya tanya lagi “gimana donk om caranya?”. Lalu dijawab, “nanti deh kita atur”. Tau – tau suatu hari Abang dipanggil, makan siang sama Alm. Prof Soemitro dan Mohtar Kusumaatmadja. Dibujuk “kalian berdua bikin kantor nih, law firm, saya bantu deh modalnya”, jadi niatnya abang mo buka kantor ma Mohtar. Tapi tiba – tiba, udah siap semua, konsepnya, gedungnya udah bakal disewa, biaya udah ada, tau – tau Soemitro jadi meteri diangkat Soeharto. Buyar deh. Kantornya dia sendiri juga berantakan. Karena dia gak bisa, kita berdua (Abang dan Mohtar) bubar deh. Abang bikin sendiri, modal abang, Mohtar mendirikan dengan orang amerika. Jadi dua kantor pertama di indonesia itu niatnya bersama – sama, karena dikasih ide sama Soemitro. Dengan abang buka kantor tahun 69 lebih dahulu, mulai dapet uang masuk abang bikin LBH terus. Karena dari kantong Abang bisa nyumbang LBH.

Perkembangannya itu, Abang ingin bantu rayat lebih banyak dan itu ternyata hanya bisa dibantu lewat BHS. Karena kalau bantuan hukum biasa hanya litigasi, gak semua donk orang berperkara di pengadilan. Banyak perkara yang tidak bisa diselesaikan lewat pengadilan, tapi melalui cara lainnya seperti negosiasi, konsultasi, mediasi, arbitrase segala macem termasuk juga mengirim delegasi ke DPR, DPRD segala macem. Karena tujuannya adalah memberdayakan masyarakat, memperkuat posisi tawar. Supaya apa ? supaya ada perubahan struktural. Masyarakat yang berada di kelas di bahwa ini bisa naik, jadi supaya rayat ini bisa sama-rasa, sama-rata, lah, jadi egaliter semuanya. Dan dengan bantuan hukum struktural bisa dicapai semuanya, dimana masyarakat merasa kokoh, karena didampingi oleh lawyer dalam membela kepentingannya atau membela hak – haknya. Jadi kita mendampingi buruh, petani, nelayan, khan orang – orang kecil semua, miskin kota itu dibantu sama LBH dan bukan berarti bahwa bantuan itu harus dipengadilan. Ini yang dilakukan oleh LBH dari dulu.

Oke, sekarang mau tanya apa lagi ?

Red: Menurut abang sendiri, masih relevankah bantuan hukum struktural itu dengan kondisi sekarang ?

ABN : Masih amat sangat relevan, bahkan lebih relevan lagi. Karena bantuan hukum itu diperlukan oleh rakyat, kenyataannya begitu. Angka – angka statistik pun menunjukkan begitu, menanjak terus, lihat aja kliennya LBH. Mangkannya abang bantah itu tesisnya Frans Hendra Winarta.

Kedua, sekarang ini khan banyak lembaga – lembaga semacam, liat aja itu fakultas – fakultas hukum, itu khan juga berkembang terus di masyarakat. Di luar LBH, YLBHI dan fakultas – fakultas Hukum, lembaga LBH – LBH lain terbentuk dimana – mana, dengan nama macem – macem LBH Kesehatan lah, LBH Pers, LBH APIK lah semua segala macem. Kalau gak ada yang dibela, masak berdiri semua. Itu khan fakta semua, sepanjang struktur masyarakt masih pincang. Karena itulah sekarang muncul konsep access to justice. Jadi, relevan betul, timbulnya konsep access to justice di luar negeri mereka msih mencari nih dengan UNDP bagaimana bentuknya. Bentuk melaksanakan access to justice. Mereka temukanlah LBH, ini ceritanya Erna Witoelar. Dia kagumnya bukan main sama LBH. Ada orang dari WB, IMF, UNDP dateng juga. Mereka mencatat dalam literatur dunia bahwa LBH lah yang melakukan bantuan hukum struktural buat masyarakat miskin. Semakin banyak rakyat bisa menjangkau keadilan, itulah pemerataan keadilan. Dan itulah tujuan kita, BHS, bagaimana memberdayakan mereka. Pemberdayaan masyarakt miskin ini, dengan YLBHI dengan bantuan hukum struktural-nya sama dengan cita – cita, keinginan access to justice. Jadi, relevan sekali

Red: Apakah ada kendala – kendala dalam penerapan bantuan hukum struktural ?

ABN : Ada, secara garis besar adalah sistem pemerintahan yang otoriter dan represif. Di jaman Soeharto, kita mengalami itu khan. Pemerintahan yang diktator sifatnya, otoriter, executive heavy, sentralisasi kekuasaan di tangan presiden, tidak ada check and balances, gak ada kontrol itu menumbulkan kekuasaan yang absolut. Dan keuasaan absolut selalu berbahaya. Power tends to corrupt, absolut power corrupt absolutly.

Karena bantuan hukum struktural ini selalu mengajarkan demokrasi, hak – hak asasi manusia, keadilan sosial, dibenci sama kekuasaan yang otoriter. Itu kendala utama, dan itu dibuktikan selama Soeharto berkuasa.

Kendala kedua, adalah ketidakpedulian dari para ahli hukum. Tidak atau kurang ada kepentingan, atau interest untuk membela rakyat miskin dan tidak mampu itu, maka mereka menjauhkan diri karena mereka anggap itu beban.

Ketiga, rakyat miskin itu sendiri juga memiliki kendala budaya. Bukan hanya miskin, yang membuat mereka jadi bodoh tapi juga merasa hukum sebagai sesuatu yang alien, asing buat dia. Akibatnya mereka takut berurusan dengan hukum, karena mereka melihat bahwa hukum itu polisi, jaksa, pengadilan apalagi melihat contoh penangkapan, penahanan yang sewenang – wenang oleh polisi, jaksa. Sehingga rakyat miskin itu pasrah, dan ini abang alami di pengadilan, empiris.

Kalau ada sidang, hakimnya Alm. Yusuf, Jaksanya Adnan Buyung Nasution, pembelanya gak ada, hanya polisi yang bawa berkas. Kalau terdakwa dateng, terus kita tanya “gimana terdakwa, sudah dengar tadi jaksa sudah baca tuduhan?”, lalu dijawab “sudah pak” trus “bagaimana, kamu ngaku salah atau enggak?”, lalu dijawab oleh terdakwa “ya, saya mah kagak ngarti pak, terserah aja”.

Bagaimana mau menegakkan hukum dan keadilan apalagi access to justice, atau sistem fair trial. Gak akan bisa kejadian di Indonesia. Hal inilah jadi menambah alasan perlunya bantuan hukum. Dan itulah tugasnya bantuan hukum struktural untuk membuat masyarakat dari buta hukum menjadi melek hukum

Abang pernah ditangkap 2 tahun sama Hariman, tanpa pengadilan. Dari tahun 1974 – 1975. Lalu dicekal lebih dari 10 tahun. Diusir dari Indonesia 7 tahun, lalu Abang hidup di Belanda

Red: Begini Bang, ketika jaman sudah berubah, orde juga sudah berubah khan. Dari orde lama, orde baru sampai sekarang era reformasi dan ngomong tentang konsep bantuan hukum struktural juga khan. Ada gak perubahan sistem, atau metode ngomong masalah bantuan hukum struktural tadi ? khan otomatis, ketika ngomong metode dan dibenturkan dengan masalah akhirnya khan muncul metode baru donk ?

Kalau ditanya apakah ada perubahan. Perubahan ada dalam arti pemerintahan yang sekarang, orde reformasi ini. Yang mana, yang orde sekarang atau yang orde baru ?

Red: Orde baru sama yang sekarang Bang......

ABN : Orde baru dengan orde setelah orde baru, ada satu yang penting mereka itu liberal. Liberalisasi proses di indonesia. Dikasih kebebasan hak – hak politik, hak – hak kemerdekaan pers, hak – hak kemerdekaan pendapat lisan atau tulisan, bahkan hak demonstrasi, semua gak dilarang. Termasuk kerjaan bantuan hukum struktural. Hanya saja harapan kita, pemerintahan sekarang bukan hanya tidak melarang, tapi pro aktif donk. Tahu bahwa ini penting dan sejalan dengan tujuan pemerintah, membangun masyarakat yang katakanlah setara, berkeadilan sosial, bantu donk harusnya. Itu yang belum terjadi...

Sekarang ada dana bantuan hukum, tapi dipakenya kemana ? dikasih ke pengadilan, kejaksaan, ke kepolisian, lha kok mereka bantuan hukum, apanya yang mereka bantu. Kenapa tidak berikan YLBHI untuk suruh LBH-nya dan seluruh fakultas yang punya bantuan hukum, di Brawijaya, di UNPAD, di UI bagi-in semua. Abang ngomong begitu ke Andi Matalatta, supaya segera dirubah ini politik bantuan hukum. Coba ditulis itu bahwa Bang Buyung mempertanyakan dana bantuan hukum yang diberikan ke pengadilan, setiap pengadilan kemana perginya, bagaimana pertanggung jawabannya, bagaimana prosesnya selama ini, siapa yang diuntungkan. Bagusnya kalian pergi dulu ke pengadilan, ke surabaya, ke malang

Sorry, jam 4 ini abang ada acara, mungkin ada pertanyaan lagi ?

Red: Pesan dari abang endiri untuk mahasiswa untuk ngomong masalah hukum sendiri ?

ABN : Menurut abang, mahasiswa sekarang harus dipacu semangatnya untuk kembali menjadi sarjana hukum pejuang, bagaimana membangun idealisme kembali sehingga mau menjadi sarjana hukum pejuang, artinya menggunakan ilmu hukum itu buat perjuangan bagi bangsa dan negara. Bukan menjadi sarjana hukum yang komersial, hanya buat cari duit.

Ini tadi baru ada kritik yang siapa tadi yang bilang, sekarang kalau mahasiswa ditanya kalo tamat mo jadi apa ? pada mau jadi lawyer semua, ikut Bang Buyung katanya, OC Kalingis. Jadi buat Abang, jadilah pejuang hukum yang idealis. Jadi dibangkitakan kembali semangat idealisme untuk berjuang hukum untuk kepentingan publik. Gunakan ilmu hukum yang kalian peroleh, untuk kepentingan publik, rakyat jelata.
Bagaimana caranya, dulu sejak saya dari mahasiswa saya lihat pengadilan.
(Team M-Fest)