PENDIDIKAN INDONESIA KEMARIN, HARI INI, DAN ESOK …

.
Oleh: Trias A. Pamungkas

“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” (Alenia IV Pembukaan UUD 1945)

Pendahuluan
Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”, serta ayat (2) menyatakan, “Setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Sebuah amanah konstitusi yang kemudian menelurkan peraturan perundang-undangan mengenai Sistem Pendidikan Nasional, yaitu Undang-Undang nomor 20 tahun 2003.
Konvensi Internasional Bidang Pendidikan yang dilaksanakan di Dakkar, Senegal, Afrika tahun 2000 yang menyebutkan bahwa semua Negara diwajibkan untuk memberikan pendidikan dasar yang bermutu secara gratis kepada semua warga negaranya. Hal ini telah terpenuhi ketika disahkannya Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU SPN), termaktub dalam beberapa pasal dalam UU tersebut antara lain, pertama, “setiap warga Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu” (Pasal 5 ayat (1)), kedua, “setiap warga Negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar” (Pasal 6 ayat (1)), ketiga, “pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negaranya tanpa diskriminasi” (Pasal 11 ayat (1)), keempat, “pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya anggaran guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga Negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun” (Pasal 11 ayat (2)).
Namun sebagai catatan perlu diketahui bahwa peraturan-peraturan yang coba untuk meminimalisir kondisi negatif yang muncul terkait permasalahan pendidikan yang ada di Indonesia. Seperti halnya program wajib belajar yang coba digalakkan oleh pemerintah, Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajardidas) 9 Tahun yang artinya jika didefinisikan dengan jenjang pendidikan adalah mulai Sekolah Dasar sampai Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) atau jika dalam undang-undang dinyatakan bahwa yang wajib mengikuti pendidikan dasar adalah usia tujuh tahun sampai dengan lima belas tahun. Konsep pendidikan dasar serta klausula batasan umur dalam pasal 6 ayat (1) UU SPN harus mendapat sedikit perubahan mengingat banyaknya penduduk Indonesia yang sampai hari ini masih didominasi oleh golongan sosial-ekonomi menengah ke bawah serta dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dikatakan bahwa batasan usia dewasa dimulai pada umur 18 tahun. Walaupun tidak ada relasi substansi antara UU SPN dengan KUH Perdata, minimal terdapat variabel yang dapat dijadikan pertimbangan ketika siswa tersebut tidak melanjutkan jenjang pendidikannya yang kemudian kondisi memaksa mereka untuk memperbaiki perekonomian hidupnya.

Degradasi Peran Pemerintah di bidang Pendidikan
Dengan tetap mengacu pada alenia IV UUD 1945, Pasal 28 serta Pasal 31 UUD 1945, Konvensi Internasional Bidang Pendidikan di dakkar tahun 2000 serta fokus kajian pada peran atau tanggungjawab pemerintah di sektor pendidikan yang terdapat pada beberapa pasal di dalam UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU nomor 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pedidikan.
Pasal 49 ayat (1) UU SPN menyatakan, “Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah”. Klausula selain dari pasal tersebut bukan pengecualian melainkan anggaran pendidikan 20% baik itu dari APBN dan APBD juga diperuntukkan untuk membayar gaji pegawai yang terdapat dalam institusi pendidikan. Artinya konsep pendanaan pendidikan yang bersumber APBN dan APBD tidak sepenuhnya dialokasikan kepada pengembangan peserta didik dan seharusnya pemerintah memisahkan antara Anggaran Pendidikan dengan Anggaran Belanja Pegawai karena jika hal ini tidak segera diakhiri maka kesenjangan sosial-ekonomi masyarakat akan semakin melebar.
Klausula yang terdapat dalam pasal tersebut juga masih memunculkan kerancuan (kesenjangan antardaerah) jika tidak segera dibenahi. Kita dapat melihat secara kasar potensi yang dimiliki oleh setiap daerah itu berbeda yang berarti bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) juga berbeda yang berimbas pada besaran alokasi anggaran disejumlah sektor tidak terkecuali sektor pendidikan. Kemudian jika logika logika tersebut sedikit dibalik maka bahwa setiap pendirian sebuah badan hukum perdata (pendidikan) harus mengantongi ijin dari pemda setempat, artinya perijinan pendirian sebuah badan hukum perdata (pendidikan) dapat dijadikan sebagai lahan baru untuk menambah pundi-pundi keuangan daerah.
Dalam pasal 46 ayat (1) UU BHP, “Badan hukum pendidikan wajib menjaring dan menerima warga Negara Indonesia yang memiliki potensi akademik tinggi dan kurang mampu secara ekonomi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah keseluruhan peserta didik yang baru.”, perlu diingat bahwa jumlah rakyat Indonesia dengan kemampuan ekonomi menengah ke bawah jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah rakyat Indonesia dengan kemampuan ekonomi menengah ke atas serta dengan realita yang terjadi akhir-akhir ini pada proses seleksi penerimaan mahasiswa baru yang lebih cenderung untuk menerima calon peserta didik yang berkantong tebal hal ini dapat dilihat dari jumlah peserta didik yang diterima melalui jalur PSB/SPMB/SMNPTN dengan jalur yang lain, semisal PMDK,SPKS, dll. Pasal 46 ayat (2) menyebutkan, “Badan hukum pendidikan wajib mengalokasikan beasiswa atau bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik warga Negara Indonesia yang kurang mampu secara ekonomi dan/atau peserta didik yang memiliki potensi akademik tinggi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah seluruh peserta didik.”, dari kedua ayat di atas nampak sekali bahwa tidak hanya terdapat pembedaan kelas sosial-ekonomi, namun juga atas dasar kemampuan akademis, dengan asumsi bahwa manusia bodoh tidak punya hak untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu dan berkualitas.
Pasal 41 ayat (1), “Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dapat memberikan bantuan sumberdaya pendidikan kepada badan hukum pendidikan.” Di dalam pasal ini tidak disebutkan dengan jelas pembagian (prosentase) terhadap bantuan yang dapat diberikan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. hal yang sama tidak jelasnya juga terdapat pada pasal 13 ayat (1), “Pendanaan tambahan atas biaya investasi selain lahan yang diperlukan untuk pemenuhan renacan pengembangan satuan pendidikan yang selain diselenggarakan Pemerintah menjadi bertaraf internasional dan/atau berbasis keunggulan lokal dapat bersumber dari (a.) pemerintah; (b.) pemerintah daerah; (c.) masyarakat; (d.) bantuan pihak asing yang tidak mengikat dan/atau; (e.) sumber lain yang sah.” Dalam pasal PP ini juga tidak terdapat batasan minimal terhadap pendanaan tambahan dari oemerintah dan pemerintah daerah serta tidak terdapat batasan maksimal bagi masyarakat, bantuan pihak asing yang tidak mengikat, dan sumber lain yang sah yang ingin melakukan pendanaan tambahan untuk pemenuhan rencana pengembangan satuan pendidikan.
Pasal 41 ayat (4), “Pemerintah dan pemeriantah daerah sesuai dengan kewenangannya menanggung paling sedikit 1/3 (sepertiga biaya operasional pada BHPP dan BHPPD yang menyelenggarakan pendidikan menengah berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai Standar Nasional Pendidikan.” Telah jelas dikatakan bahwa dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menanggung masing-masing paling sedikit 1/3 biaya operasional BHPP dan BHPPD, namun tidak disebutkan secara eksplisit siapa yang kemudian menanggung 1/3 biaya operasional sisanya.
Pasal 41 ayat (6), “Pemerintah bersama-sama dengan BHPP menanggung paling sedikit ½ (seperdua) biaya operasional pada BHPP yang menyelenggarakan pendidikan tinggi berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai Standar Nasional Pendidikan.” Jika pemerintah bersama BHPP menanggung (sedikitnya) ½ (seperdua) dan pemerintah daerah menanggung sedikitnya 1/3 (sepertiga) biaya operasional pada BHPP (pada pasal 41 ayat (4)) biaya operasional BHPP berarti secara matematis masih tersisa 1/6 (seperenam) sisa tanggungan biaya operasional yang tidak disebutkan ‘penanggung’-nya. Dari uraian di atas terlihat semacam degradasi peran pemerintah atau pemerintah sengaja mereposisi perannya sebagai penanggungjawab pendidikan menjadi “fasilitator” saja.

Daftar Pustaka
- Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
- Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
- Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan hukum Pendidikan
- Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan