Pendidikan Berbasis Internasional sebagai Perubahan Paradigma Pendidikan

.


oleh: Nurul Mahmudah
“Sekolah merupakan mahligai sakti mandraguna yang bisa melabuhkan ambisi seseorang dalam meraih keningratan dalam hidupnya. Selain itu juga bisa digunakan sebagai jembatan emas dalam mengantarkan anak-anak bangsa menjadi pelaku sejarah yang tidak membebani masyarakat dan bangsanya” (AM Rahman, 2004)

Era globalisasi telah memasuki babak baru dengan perkembangan di berbagai bidang. Dari mulai perekonomian global hingga pendidikan global yang ditandai dengan “internasionalisasi pendidikan”. Pendidikan berbasis internasional sedemikian digandrungi untuk di terapkan dalam setiap jenjang pendidikan. Di tingkat menengah pertama dan menengah atas ditetapkan Sekolah Berstandar Internasional, sedangkan di tingkat Perguruan Tinggi berbagai program seperti Student Exchange hingga pengadaan Kelas Internasioanal.

Universitas Brawijaya pada tahun 2006 mulai membuka kelas internasional. Program tersebut hanya ditawarkan di Fakultas Kedokteran yang berhasil merekrut 21 Mahasiswa asal Malaysia (tempointeraktif.com). Kemudian Fakultas Ilmu Administrasi pada tahun 2007 membuka program kelas Bahasa Inggris yang diikuti oleh Fakultas Hukum pada tahun 2008 dengan kuota maksimal 20 Mahasiswa. Kelas internasional merupakan salah satu program Universitas Brawijaya dengan kurikulum yang dipakai harus sesuai dengan World Class University. Tetapi di Universitas Brawijaya sendiri masih dalam tahap persiapan menuju kelas internasional, sehingga diawali dengan kelas bahasa Inggris
Entah apa sebutannya, kelas Bahasa Inggris atau kelas Internasional, yang jelas mahasiswa yang masuk dalam program ini dikenakan “tarif pendidikan” yang lebih mahal daripada yang mengikuti program biasa (kelas indonesia.red). Realita yang saat ini ada di Universitas Brawijaya ini jelas menimbulkan gap antar mahasiswa. Berbagai variasi “tarif pendidikan” yang diterapkan dari mulai SPP Proposional hingga Uang Pangkal Proposional seakan menjadikan pendidikan sebagai arena “lelang fasilitas pendidikan”. Mahasiswa yang mampu membayar “lebih” akan mendapatkan fasilitas yang “lebih” pula. Begitu juga pada kelas internasional (kelas dengan pengantar bahasa inggris?.red) yang mendapatkan fasilitas lebih sebagai konsekuensi dari “tarif pendidikan” yang lebih tinggi tersebut. Ironis sekali ketika pendidikan diorientasikan pada kualitas fasilitas ketimbang mutu pendidikan itu sendiri. Melihat realitanya, belum tentu juga pendidikan yang hari ini diterapkan dengan menggunakan konsep internasional tersebut mendapatkan kualitas pendidikan yang labih baik.

Padahal, Pendidikan di Indonesia dituntut untuk menghasilkan sumber daya manusia yang unggul di segala bidang, mampu bersaing di dunia kerja, tetapi jiwa kebangsaannya tidak diragukan lagi. Jadi output dari lembaga pendidikan di Indonesia selain unggul di bidang akademik juga harus berwawasan kebangsaan. (Kusnadi, www.taruna-nusantara-mgl.sch.id : 2006). Terintegrasinya dunia pendidikan ke dalam pasar bebas (dengan internasionalisasi pendidikan.red), adalah fenomena yang tidak sebanding ataupun berlainan sama sekali dengan ketidakberdayaan ekonomi masyarakat di lain pihak. Jika di negara-negara maju, pendidikan yang berbiaya mahal tidak mendapatkan protes adalah karena masyarakatnya yang melihat kemampuan dirinya untuk mengakses dunia pendidikan tersebut.

Ketika Pendidikan dengan konsep Internasional yang begitu diagungkan bahkan diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dapatlah dikatakan telah terjadi perubahan paradigma pendidikan bangsa kita. Ki Hajar Dewantara yang telah mencetuskan konsep pendidikan dengan slogan ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun karso lan tut wuri handayani, agaknya telah banyak ditinggalkan dalam pendidikan kita hari ini. Orientasi untuk memposisikan kapasitas pendidikan kita setara dengan negara-negara lain melalui program “internasionalisasi pendidikan” seakan kurang mempertimbangkan kondisi masyarakat indonesia yang masih lemah ekonominya. Sehingga ketika orientasi itu diterapkan, semakin banyak masyarakat yang tidak bisa mengakses pendidikan yang berkualitas.
Oleh karena itu, pendidikan berbasis internasional yang hari ini mencoba diintegrasikan dalam sistem pendidikan kita di Indonesia pada umumnya, dan di Universitas Brawijaya pada khususnya, agaknya perlu mempertimbangkan kondisi masyarakat Indonesia. Sehingga tidak ada kesenjangan pendidikan dimana salah satu pihak berkesempatan mengenyam pendidikan berbasis internasional, dan disisi lain tidak mampu karena biaya yang ditetapkan cukup tinggi (ilur).