Jilbab: Sekedar Simbol Agama?

.
Foto: style.pk

Di negara – negara sekuler dimana terjadi pemisahan antara urusan agama dan negara, dimana secara umum berarti, negara harus netral dari agama apapun. Anggapan negara sekuler adalah “netral” ternyata memunculkan beberapa perdebatan saat Negara mulai melarang “penampakan” simbol agama, baik di sekolah umum atau oleh warga negaranya sendiri.

Pelarangan untuk menggunakan simbol agama oleh Negara yang paling sering mnejadi perdebatan adalah pelarangan penggunaan jilbab (kerudung perempuan Islam/headscarf).

Jerman melarang guru-guru perempuan (muslim) untuk mengenakan jilbab di sekolah-sekolah umum (public school). Walaupun tidak semua negara bagian menerapkan aturan larangan berjilbab, namun wacana larangan tersebut makin meluas dari tahun ke tahun. Padahal, dengan jumlah lebih dari 3,5 juta muslim, Jerman menjadi negara yang memiliki penduduk Islam terbesar di Eropa Barat selain Perancis. Sedangkan Perancis, bukan hanya melarang guru untuk memakai jilbab tapi larangan tersebut juga berlaku bagi murid – murid perempuan. Denmark, Belgia, Swedia, dan Kosovo pun melakukan hal yang sama, keduanya beralasan bahwa mendorong rasa kesetaraan dan mencegah terjadinya pemisahan dengan basis simbol-simbol eksternal. Demokrasi dan keterbukaan bahkan menjadi alasan negara-negara tersebut untuk melarang perempuan menggunakan jilbab.

Berbeda dengan Belanda, penggunaan Jilbab masih menjadi perdebatan, di negeri yang terkenal dengan bunga tulip, Pengadilan yang paling anti korupsi sedunia (the Hague), di negeri van orange itu perempuan yang mendapatkan larangan untuk menggunakan jilbab dapat mengadukan nasibnya ke Komisi Penanganan Kesamaan Hak, yang merupakan wadah bagi para muslimah untuk menuntut haknya.


Demokrasi, HAM, dan Jilbab (headscarf)

Jilbab dalam Islam adalah salah satu kewajiban yang harus dijalankan oleh para perempuan muslim. Apakah alasan “negara harus netral” menjadi dasar legitimasi mengatur cara berbusana seseorang (kelompok masyarakat tertentu - Muslim)?. Ada beberapa alasan yang dipergunakan oleh negara-negara yang mengeluarkan suatu aturan “larangan ber-jilbab”, baik untuk guru, murid atau public servant, yakni penegakkan demokrasi dan hak asasi manusia (kesetaraan), bahkan ada yang memakai alasan bahwa jilbab merupakan simbol kegagalan integrasi dan penindasan perempuan untuk mengeluarkan larangan berjilbab.

Konsep negara demokrasi, demokrasi sebagai dasar hidup berbangsa pada umumnya memberikan pengertian bahwa adanya kesempatan bagi rakyat untuk ikut berpartisipasi aktif dalam perumusan kebijakan pemerintah. Partisipasi aktif rakyat (bukan hanya tentang voice of majority), diperlukan dalam rangka terpenuhinya hak-hak dasar warga negara. Penjaminan terhadap hak-hak dasar warga negara merupakan parameter utama terwujudnya suatu negara demokratis. Suatu negara yang demokratis harus menjamin terpenuhinya hak-hak dasar secara bebas.

Hak untuk berkeyakinan dan beragama merupajan salah satu hak dasar yang tidak tidak dikurangi ataupun diganggu gugat oleh orang lain (baca: negara, pemerintah), termasuk di dalamnya adalah hak untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan keyakinan dan agama yang dianutnya.

Pasal 4 Konvensi Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights - ICCPR); Pasal 9 ayat (1) Human Rights Act 1998; Pasal 18 Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia 1948 (DUHAM – Universal Declaration of Human Right - UDHR), menjamin tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan (religion and conscience) setiap orang. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, hak beragama dan berkeyakinan adalah hak dasar manusia, hak-hak dasar adalah 'kebebasan dasar' (basic freedom) ataupun inalienable rights (hak yang bersifat absolut, berasal dari Tuhan, tak dapat dilanggar manusia dalam keadaan apapun).

Berkaitan dengan jilbab, penulis membatasi pengertian jilbab dalam tulisan ini, yaitu kerudung kepala (headscarf) yang menutupi rambut, leher (sampai dada), yang mana wajah masih terlihat (bukan burqa), penggunaan jilbab bagi perempuan muslim bukan hanya sekedar kebebasan berekspresi mengenai busana (simbol agama), namun merupakan salah satu bentuk kebebasan beribadat menurut agama yang dianutnya. Sehingga penggunaan jilbab merupakan private matter, yang mana tidak boleh dibatasi oleh negara atau pemerintah.

Saat negara-negara Eropa dan Amerika sedang menyibukkan diri untuk melarang penggunaan jibab dan warga negaranya (muslim) mencoba memberikan pengertian bahwa jilbab bukan sekedar simbol agama, lain halnya dengan Indonesia, sejumlah wilayah di Indonesia malah sibuk mengeluarkan aturan untuk ‘mewajibkan memakai jilbab”. Laporan Pemantauan Kondisi Pemenuhan Hak-Hak Konstitusional Perempuan di 16 Kabupaten/Kota pada 7 Provinsi di Indonesia oleh Komnas Perempuan tahun 2010 menyatakan terdapat 21 kebijakan daerah tentang aturan busana telah dikeluarkan dalam rentan tahun 2000 – 2006, beberapa di antaranya adalah (a) Peraturan Bupati Banjar No.19 Tahun 2008 tentang Pakaian Dinas Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Banjar, (b) Perda No. 5 Tahun 2003 tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah di Kabupaten Bulukamba, (c) SK Bupati Dompu No. Kd. 19.05./1/HM.00/1330/2004 tentang Pengembangan Perda No.1 Tahun 2002 yang isinya menyebutkan tentang kewajiban membaca Alquran (mengaji) bagi PNS yang akan mengurus kenaikan pangkat, calon pengantin, calon siswi SMP dan SMU, dan bagi siswa yang akan mengambil ijazah; serta kewajiban memakai busana Muslim, yaitu jilbab (bernuansa Islami). Meskipun aturan tentang busana tidak tertulis secara jelas bahwa objek-nya adalah perempuan, namun ada satu pernyataan yang dibuat oleh salah satu narasumber Focus Group Discussion (FGD) menyiratkan secara jelas perempuan adalah objek dari beberapa kebijakan tentang busana:

“Perempuan adalah barometer konsep religius yang marak dikembangkan. Hal ini disebabkan oleh simbol-simbol keagamaan yang melekat pada perempuan dapat dilihat langsung oleh mata manusia; lain halnya dengan mengaji, puasa, sabar, dan sebagainya”

Berbicara mengenai “keharusan memakai jilbab” dalam kebijakan - kebijakan daerah di Indonesia, konsep demokrasi dan hak asasi manusia kembali dijadikan pisau analisis, bedanya HAM yang dipergunakan bukan lagi tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan, namun juga kebebasan berekspresi.
Busana sebagai identitas diri mencerminkan pikiran dan sikap seseorang. Pasal 28E ayat (2), 28I ayat (1) UUD 1945 menjamin hak dasar untuk mengekspresikan diri, baik melalui pendapat atau pun melalui busana.
Alasan yang dipergunakan untuk mengharuskan berjilbab adalah melindungi kehormatan para perempuan dari kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual. Pola pikir seperti ini semakin melanggengkan budaya bahwa perempuan diperkosa karena salahnya sendiri (blaming victim), akhirnya yang tercipta bukanlah perasaan aman, melainkan perasaan terbebani serta membentuk pribadi yang tidak jujur pada dirinya sendiri.

“setelah ada perda, kalau keluar rumah, harus selalu berjilbab,.. kalaupun perempuan pakai jilbab, tapi dia imut-imut pasti masih di suit-suit¬ –in (dilecehkan secara verbal)”

“sehari-hari saya memang tidak memakai jilbab, kalau ke pertemuan resmi, saya akan pakai jilbab, tidak enak bila tidak pakai... karena dipandangi dan dikomentari orang”

Kemudian, pemaksaan untuk berbusana berdasarkan identitas agama tertentu adalah pelanggaran hak konstitusional warga negara berdasarkan pasal 29 ayat (2) UUD 1945 yang menjamin setiap warga negara untuk beribadat menurut keyakinan dan agama yang dianut. Aturan memakai jilbab, bagi yang Islam, mungkin sah-sah saja, bagaimana dengan masyarakat yang non-muslim, haruskah berbusana Islami juga?.

Untuk memberikan sedikit pencerahan, penulis mengutip sebuah pernyataan seorang Maulana dalam film Khuda Kayliye (In the Name of God) yang menggambarkan bahwa agama tidak memaksakan cara berbusana pada seseorang:

“...berpakaian adalah bagian dari budaya dan sama sekali bukan bagian dari agama. Bagaimana mungkin agama yang diturunkan untuk sepanjang masa, dan untuk seluruh alam semesta akan memaksakan sebuah seragam?,,tapi kita sangat naif, jika ada seseorang yang memeluk Islam di Alaska, atau di pegunungan yang tinggi seperti New Zealand, apakah kita akan bersikeras bahwa ajaran Islam dapat ditunda, dan pertama yang harus ia lakukan adalah memakai celana Islami yang diatas pergelangan kaki,...”

Tirani kelompok mayoritas terhadap minoritas (cenderung ke arah diskriminasi) ternyata hampir sama di seluruh

tempat. Apabila tidak ingin identitas kelompok, keyakinan atau agamamu di diskrimnasi oleh pihak lain, janganlah mendiskriminasi identitas suatu kelompok, keyakinan atau agama lain yang notabene adalah minoritas. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika hendaknya bukan berhenti dipelajari semasa duduk di bangku sekolah melalui pelajaran Pkn (kewarganegaraan), tapi juga harus diimplementasikan seara nyata di masyarakat, melalui pembentukan kebijakan-kebijakan yang tidak mendiskriminasi suatu golongan tertentu. (Rhm)