MK Tolak Judicial Review UU Intelijen Negara

.
ilustrasi: Primaironline

Mahkamah Konstitusi menyatakan menolak permohonan uji Undang-Undang No. 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara. Menurut Mahkamah, dalil-dalil para Pemohon tidak beralasan menurut hukum dan UU yang diujikan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. “Menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua Mahkamah Konstitusi Moh. Mahfud MD, Rabu (10/10) di Rang Sidang Pleno MK.
Dalam menjatuhkan Putusan Perkara No. 7/PUU-X/2012 ini, Mahkamah membaginya menjadi tiga pertimbangan pokok, yakni mengenai: 1) Peran, fungsi, dan wewenang intelijen; 2) Rahasia intelijen; dan 3) Isu kelembagaan/institusional intelijen.
Menurut Mahkamah, dalil Pemohon atas Pasal 26 juncto Pasal 44 dan Pasal 45 UU Intelijen tidak bertentangan dengan prinsip negara hukum dan prinsip pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta persamaan di depan hukum sebagaimana dimaksud oleh Pasal 1 ayat (3)  dan Pasal 28D ayat (1)  UUD 1945. “Oleh karena itu, dalil para Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum.”
Begitu pula terhadap pengertian “ancaman” yang dianggap multitafsir oleh Pemohon, Mahkamah berpandangan, amat tergantung pada penerapan terhadap pengertiannya. Oleh karenanya, lanjut Mahkamah, penyusunan peraturan perundang-undangan sebagai pelaksanaan dari UU Intelijen harus menghormati hukum, nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia, serta pelaksanaan kegiatan intelijen harus sesuai dengan hukum yang berlaku (due process of law).
“Bahwa keinginan para Pemohon agar definisi ancaman dijelaskan secara rigid, justru akan membatasi ruang gerak intelijen, karena ketika ada ancaman selain dari yang ditentukan oleh Undang-Undang a quo, intelijen tidak dapat melakukan tugas dan wewenangnya padahal ternyata hal yang tidak diatur tersebut justru mengancam atau membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah  negara, dan keselamatan segenap bangsa,” ujar Mahkamah.
Oleh karena itu, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon yang mempersoalkan batasan pengertian, singkatan atau hal-hal lain yang bersifat umum yang dijadikan dasar/pijakan bagi pasal-pasal berikutnya dalam Undang-Undang Intelijen, sangat tidak beralasan dan tidak tepat, sebab konstruksi ketentuan tersebut justru telah memberikan gambaran dan arah yang jelas mengenai apa yang dimaksud dengan ancaman.
“Berdasarkan pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon mengenai pengertian ‘ancaman’ yang diatur dalam Pasal 1 angka 4 UU 17/2011 tidak beralasan menurut hukum,” tegas Mahkamah.
Terhadap ketentuan terkait fungsi intelijen dan fungsi penegakan hukum, Mahkamah berkesimpulan, telah secara tegas dipisahkan dalam UU Intelijen. Fungsi penegakan hukum tetap harus dipegang oleh kepolisian dan kejaksaan, dan tidak dapat dipindahtangankan kepada aparat intelijen. Intelijen merupakan bagian dari sistem peringatan dini yang tidak memiliki kewenangan penindakan. Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal 4 UU Intelijen tidak beralasan menurut hukum.
Begitu pula terkait kewenangan Badan Intelijen Negara untuk memberi rekomendasi kepada pengambil kebijakan terkait orang dan/atau lembaga asing tertentu yang juga dipersoalkan oleh Pemohon. Menurut Mahkamah,  kewenangan membuat rekomendasi orang dan/atau lembaga asing tertentu yang akan menjadi warga negara Indonesia, menetap, berkunjung, bekerja, meneliti, belajar, atau mendirikan perwakilan di Indonesia, dan terhadap transaksi keuangan yang berpotensi mengancam keamanan serta kepentingan nasional, dilakukan dalam rangka early warning and early detection terhadap pihak dari luar negeri.
Adanya kewenangan tersebut, sambung Mahkamah, harapannya akan mampu mencegah, mengatasi, mengurangi, dan menghindari akibat kejadian/bahaya yang akan menimpa serta melindungi keamanan dan kepentingan nasional. Oleh karena itu, Mahkamah berpandangan, wewenang BIN untuk memberi rekomendasi yang berkaitan dengan orang dan/atau lembaga asing tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Adapun permohonan ini diajukan oleh beberapa organisasi, yakni: Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (IMPARSIAL), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Perkumpulan Masyarakat Setara, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), beserta 13 pemohon perseorangan lainnya.
Dalam permohonannya, para Pemohon mengajukan pengujian atas: Pasal 1 ayat (4); Pasal 1 ayat (6); Pasal 1 ayat (8); Pasal 4; Pasal 6 ayat (3) sepanjang frasa “dan/atau pihak lawan yang merugikan kepentingan dan keamanan nasional”; Pasal 22 ayat (1) sepanjang frasa “penyelenggara Intelijen Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e”; Pasal 25 ayat (2); Pasal 25 ayat (4); Pasal 26 juncto Pasal 44 juncto Pasal 45; Pasal 29 huruf d juncto Penjelasan Pasal 29 huruf d; Pasal 31 juncto Pasal 34 juncto Penjelasan Pasal 34 ayat (1); Pasal 32 ayat (2) huruf c; Penjelasan Pasal 32 ayat (1) sepanjang frasa “Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undanganadalah Undang-Undang ini”; dan Pasal 36 UU Intelijen Negara. (Dodi/mh)

sumber: www.mahkamahkonstitusi.go.id