Enam orang mahasiswa Universitas Andalas (Unand), Padang, Sumatera Barat, yang memohonkan uji materi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti), hari ini kembali menjalani sidang lanjutan perkara Nomor 111/PUU-X/2012, Selasa (4/12/2012). Sidang dengan agenda perbaikan permohonan ini dilaksanakan secara interaktif di dua tempat yang berbeda dengan menggunakan teknologi sidang jarak jauh (video conference) yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi. Panel Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva (ketua panel), Harjono dan Maria Farida Indrati yang berada di ruang sidang pleno lt. 2 gedung MK memeriksa perbaikan para pemohon yang berada di Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat. |
Para sesi perbaikan permohonan ini, para pemohon yakni
Azmy Uzandy, Khairizvan Edwar, Ilham Kasuma, Mida Yulia Murni,
Ramzanjani, dan Ari Wirya Dinata, memaparkan perbaikan permohonan
berdasarkan nasihat panel hakim pada persidangan pendahuluan pada Selasa
(21/11/2012) lalu. Hal-hal yang diperbaiki yaitu mengenai kewenangan
Mahkamah untuk menguji UU Dikti. “Para Pemohon memohon kepada Mahkamah
Konstitusi untuk menguji materil Pasal 65 ayat (1) sepanjang frasa ‘atau
dengan membentuk PTN badan hukum’, serta ayat (3) dan ayat (4), Pasal
74, Pasal 76 ayat (1) sepanjang frasa ‘peraturan akademik’, dan ayat (2)
huruf c, serta Pasal 90, di mana bahwa Mahkamah Konstitusi menurut
Pasal 24C ayat (1) memiliki kewenangan untuk menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar,” kata juru bicara para pemohon, Azmy
Uzandy.
Sedangkan perbaikan pada pokok permohonan, Para Pemohon
menguraikan Pasal 65 ayat (1) sepanjang frasa “atau dengan membentuk PTN
badan hukum”. Pasal 65 ayat (1) menyatakan: “Penyelenggaraan otonomi
Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dapat diberikan
secara selektif berdasarkan evaluasi kinerja oleh Menteri kepada PTN
dengan menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum atau
dengan membentuk PTN badan hukum untuk menghasilkan Pendidikan Tinggi
bermutu.” Menurut Para Pemohon, frasa “atau dengan membentuk PTN badan
hukum” dalam Pasal 65 ayat (1) UU Dikti tersebut telah membuka ruang
untuk suatu perguruan tinggi yang memiliki status badan hukum. Padahal,
ruang hadirnya Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang berbadan hukum
tersebut telah ditutup oleh MK melalui Putusan Nomor 11-14-21-126 dan
136/PUU-VII/2009 tentang Pengujian UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dan UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan
Hukum Pendidikan (BHP). Mahkamah dalam amar putusan menyatakan
konstitusional bersyarat atas ketentuan Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas.
Mahkamah menyatakan konstitusional frasa ‘badan hukum pendidikan’
sepanjang dimaknai dengan sebutan fungsi penyelenggaraan pendidikan,
bukan sebagai bentuk badan hukum tertentu.
“Bahwa antara frasa ‘atau dengan membentuk PTN Badan
Hukum’ dengan ketentuan Pasal 65 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2012 tentang Pendidikan Tinggi, dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945
serta ditiadakannya syarat kondisional konstitusional pada Putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut terkait ketentuan Pasal 53 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
secara nyata frasa tersebut inkonstitusional menurut Pemohon,” lanjut
Azmy.
Pasal 74 UU Dikti menyatakan: (1) PTN wajib mencari dan
menjaring calon Mahasiswa yang memiliki potensi akademik tinggi, tetapi
kurang mampu secara ekonomi dan calon Mahasiswa dari daerah terdepan,
terluar, dan tertinggal untuk diterima paling sedikit 20% (dua puluh
persen) dari seluruh Mahasiswa baru yang diterima dan tersebar pada
semua Program Studi. (2) Program Studi yang menerima calon Mahasiswa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memperoleh bantuan biaya
Pendidikan dari Pemerintah, Pemerintah Daerah, Perguruan Tinggi,
dan/atau Masyarakat.
Pasal 74 UU Dikti yang dipermasalahkan para pemohon yaitu
mengenai calon mahasiswa yang memiliki potensi akademik tinggi. Para
pemohon mempertanyakan mengapa hanya calon mahasiswa yang memiliki
potensi akademik tinggi saja yang diakomodir UU Dikti. Padahal inti dari
pendidikan yang termaktub dalam UUD 1945 adalah untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa. Artinya pendidikan tidak hanya untuk mahasiswa yang
memiliki potensi akademik tinggi saja, melainkan juga untuk
mahasiswa-mahasiswa yang tidak memiliki potensi akademik tinggi.
“Artinya ada sebuah bentuk perlakuan yang tidak sama di hadapan hukum
yang bertentangan, menurut kami, dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia,” dalil Azmy.
Pasal 76 ayat (1) UU Dikti menyatakan: “Pemerintah, Pemerintah
Daerah, dan/atau Perguruan Tinggi berkewajiban memenuhi hak mahasiswa
yang kurang mampu secara ekonomi untuk dapat menyelesaikan studinya
sesuai dengan peraturan akademik.” Para pemohon mempermasalahkan frasa
“peraturan akademik”. Hal ini menurut para pemohon akan mengakibatkan
perlakuan yang diskriminatif antara satu universitas dengan universitas
lain.
Ketentuan Pasal 90 UU Dikti memberikan suatu ruang untuk
adanya internasionalisasi melalui perguruan tinggi lembaga negera lain,
dapat menyelenggarakan pendidikan tinggi di wilayah NKRI sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Para pemohon menganggap hadirnya
perguruan tinggi asing yang membuka cabang di Indonesia, akan
menimbulkan dampak swastanisasi pendidikan tinggi. “Kami sangat khawatir
dengan analogi adanya nanti Harvard cabang Padang, atau Padang Sumatera
Barat, akan membuat suatu bentuk kerugian konstitusional bagi
orang-orang yang berkuliah di Universitas Andalas sendiri karena
pastinya dengan brand yang tersebut maka akan mematikan perguruan tinggi-perguruan tinggi yang ada,” tandas Azmy. (Nur Rosihin Ana/mh)
SUMBER: www.mahkamahkonstitusi.go.id